Dahsyat, Kemampuan Akademis Prof Dr Megawati
Setelah diberi gelar doktor kehormatan, Megawati Soekarnoputri akan menerima gelar profesor kehormatan dari Universiats Pertahanan (Unhan) yang berkampus di Sentul, Kabupaten Bogor. Acara penobatan akan berlangsung Jumat, 11 Juni 2021. Akan sempurnalah kapasitas akademis beliau: Prof. Dr. Megawati Soekarnoputri.
Unhan mengatakan mereka menerima seluruh karya ilmiah Megawati. Presiden kelima ini akan menyampaikan pidaro ilmiah yang berjudul “Kepemimpinan Strategis pada Masa Kritis”.
Banyak yang merasa heran, terutama para netizen. Mereka mencibiri gelar profesor kehormatan itu. Padahal, untuk mendapatkan gelar ini Bu Mega “menulis” begitu banyak karya ilmiah. Salah satu yang viral adalah “Kepemimpinan Presiden Megawati Pada Era Krisis Multidimensi, 2001-2004”.
Ini tidak sembarangan. Beliau mengklaim telah melakukan penelitian kualitatif. Pendekatannya studi kasus. Membaca sepintas, karya ilmiah Bu Mega ini memang dahsyat. Di bagian “abstrak”-nya, Bu Mega mengatakan penelitian ini menggunakan kerangka teori Byman dan Pollack (2001) sebagai pisau analisis.
Tulisan ini dihiasi kutipan kelas dunia. Untuk tulisan 16 halaman ini, Bu Mega mengutip 19 buku dan tulisan ilmiah plus tujuh undang-undang RI.
Serius sekali. Bu Mega telah membaca banyak buku tentang ekonomi, politik, perbankan, bisnis, dll. Di bagian awal saja Bu Mega menunjukkan pemahaman yang luas dan dalam tentang krisis moneter 1997-1998 tempohari.
Intinya, lewat tulisan yang dimuat di Jurnal Pertahanan & Bela Negara, April 2021, Volume 11 Nomor 1, Megawati mengatakan bahwa kepemimpinan dia sebagai presiden 2001-2004 sangatlah hebat. Sebab, krisis yang melanda Indonesia datang dari berbagai arah (multidimensional). Dan krisis berat ini bisa dinavigasikannya dengan piawai.
Membaca karya ilmiah ini, terlihat literasi Bu Mega sangat luas spektrumnya. Di bagian “Pendahuluan”, Bu Mega memberikan isyarat bahwa dia membaca berbagai analisis termasuk Kuncoro (2011), Basri (2011), Wirutomo (2003), Harahap (2018), Windiani (2017), Byman (1986), Fielder (1967), Avolio (2007), Larry Greiner (1972), Moleong (2008), Yin (2013), Lukman (2004).
Bu Mega juga membaca tulisan Robert D Putnam (Universitas Harvard) yang berjudul “Diplomacy and Domestic Politics: The Logic of Two-Level Games”. Artikel ini menyimpulkan bahwa persetujuan internasional baru akan didukung kalau memberikan keuntungan domestik. Megawati mengutip artikel 34 halaman yan terbit di jurnal International Organisation ini untuk menjelaskan bahwa dia adalah presiden yang memiliki kemampuan diplomasi yang luar biasa.
Tetapi, ada buku Putnam yang sangat relevan dengan situasi dan kondisi politik Indonesia yang tidak dijadikan rujukan. Yaitu, “Making Democracy Work” (1993). Buku ini membahas soal “social capital” (modal sosial). Menurut buku ini, sukses demokrasi sangat bergantung pada “horizontal bonds” (ikatan horizontal) di tengah masyarakat. Intinya adalah “trust” (kepercayaan) antara satu dengan yang lainnya.
Nah, seperti apa ikatan horizontal di negeri ini pada saat sekarang? Tentu kita semua bisa lihat sendiri. Rajut sosial sudah rusak berat gara-gara pemimpin yang tidak berkualitas. Padahal, kata Putnam, modal sosial yang kuat akan mendorong partisipasi publik yang tinggi dan juga menumbuhkan kemakmuran ekonomi. Nyatanya, aspek ini hancur-lebur.
Megawati juga mengutip buku Barry Buzan “People, States and Fear” (1991). Dengan mengutip profesor hubungan internasional di London School of Economic ini, Bu Mega mau menjelaskan betapa beratnya ancaman keamanan dalam kategori militer, politik, lingkungan, ekonomi dan sosial semasa dia menjadi presiden. Tapi, semua itu bisa diatasinya. Keren, bukan?