Dampak Gadget bagi Generasi Z
Seiring perkembangan zaman, gadget (gawai) bukanlah benda mahal bagi para orang tua. Dengan uang di bawah dua juta rupiah saja mereka sudah bisa membelikan sebuah gadget untuk anak mereka. Banyaknya aplikasi dan game yang mudah diunduh juga menjadikan orangtua menyerahkan urusan hiburan bagi anak mereka kepada gadget.
Saat ini anak-anak kita telah memasuki masa ‘Generasi Z’, mereka yang terlahir tahun 1995-2000-an ke atas, di mana semuanya serba digital dan akses internet sangat mudah dijangkau. Di sekitar kitapun banyak orang tua yang dengan mudah memberikan gadget kepada anak-anak dengan alasan supaya mereka tidak ‘gaptek’ dan ‘tenang’ saat bermain. Akibatnya, anak sering merengek untuk memainkan gadget dalam waktu lama. Tentu sesuatu yang berlebihan akan berdampak buruk bagi perkembangan anak.
Dampak internet telah mengubah perilaku generasi Z menjadi suka akan sesuatu yang instan dan viral. Informasi, gaya hidup atau sesuatu yang sedang trending-pun mereka ikuti bahkan menjadi panutan, tak peduli apakah hal itu berdampak positif atau negatif bagi mereka, jika orangtua tidak pandai menyaringnya. Sebagai orang tua, seharusnya juga harus lebih bijak dalam penggunaan gadget. Banyak para orang tua yang baru melek teknologi lebih asyik bermain game online, Instagram, Tik-Tok, Facebook, WhatsApp dan aplikasi lainnya sehingga anak mereka merasa diacuhkan dan akhirnya melampiaskan kejenuhannya lewat gadget.
Aplikasi chatting juga menjadikan perilaku generasi Z terkadang kurang berkomunikasi secara langsung (verbal). Mereka lebih suka berbicara lewat medsos yang mengakibatkan intensitas pertemuan fisik berkurang bahkan parahnya mereka bisa ketergantungan kepada gadget. Akibat terbiasa chatting di media sosial maka timbul rasa kaku dan nerveous ketika bertemu satu sama lain. yang akhirnya mereka kembali tenggelam dalam dunia maya dan tak memperdulikan lagi sekitarnya. Mereka tak lagi saling menyapa dan lebih asyik berselancar di dunia maya.
Gadget juga berdampak menjadikan kehidupan mereka mejadi hedonis, individualis, dan terpapar pornografi, dimana anak-anak dengan mudah mengakses situs-situs terlarang yang akhirnya terjerumus kedalam perilaku freesex dengan alasan materi, ingin membeli pakaian model terbaru atau hp terbaru.
Banyak sudah kasus-kasus pemerkosaan anak di bawah umur dengan iming-iming sejumlah uang, mereka berkenalan lewat jejaring medsos (media sosial), lalu ketemuan yang akhirnya anak-anak kita dibujuk untuk melampiaskan hawa nafsu predator anak tersebut. Dan akhirnya tidak sedikit korban tersebut kemudian dibunuh. Na’uzubillah.
Seperti berita pada akhir September lalu di Sukabumi, dimana ada kakak beradik RG (16) dan RS (14) tahun melakukan hubungan intim (inses) dengan ibu kandung serta memperkosa adik angkatnya NP yang masih berusia lima tahun. Ketika ditanya kenapa mereka melakukan hal tersebut, mereka menjawab karena kecanduan video porno yang diperoleh melalui sebuah aplikasi sosial media lewat HP-nya. (tribunnewsbogor.com)
Kasus lain yang terjadi di Cikarang yang dikabarkan oleh rmol.id (18/10/19) dimana dua remaja, NV (17) dan Ty (17) mereka menjalani rehabilitas di yayasan gangguan jiwa karena akibat ketergantungan yang akut terhadap gadget. Kedua remaja ini sudah sangat berlebihan menggunakan ponsel. Bahkan, mereka mengoprasikan gawai dari sejak bangun tidur hingga malam. Akibat ketergantungan terhadap ponsel ini akhirnya mereka sering bolos sekolah, menjadikan mereka cepat emosional bahkan melawan kedua orangtuanya.