REMAJA

Dampak Gadget bagi Generasi Z

Begitu miris melihat kedua contoh fakta di atas, generasi yang seharusnya menjadi harapan agama dan bangsa malah menjadi korban keganasan gadget. Mungkin masih banyak kasus-kasus serupa diluar sana dan tentu yang menjadi korban adalah generasi penerus bangsa bila kita tak mengawasi mereka sejak dini dalam penggunaan gadget.

Kekhawatiran sebagai orangtua adalah ketika anak mereka suka menyendiri di kamar dan memainkan smartphone mereka. Karena bisa jadi disitulah berbagai kemungkinan mereka berinteraksi dengan “evil of the world” di jagat internet (mulai dari gaya hidup hedonis, cyber bullying, gambar dan video porno, hingga predator pedofili) bisa terjadi. Pengasuhan orangtuapun bisa diambilalih oleh gadget, karena mereka lebih terhibur dengan game online maupun aplikasi smartphone lainnya.

Kerenggangan antarkeluarga atau disebut Big Disconnection juga bisa dipicu dari seringnya sebuah keluarga dalam penggunaan gadget. Dalam bukunya, The Big Disconnect: Protecting Childhood and Family Relationship in the Digital Age (2013), Catherine Steiner-Adair mewaspadai terjadinya “tragedi keluarga” terbesar abad ini, yaitu apa yang ia sebut “big disconnection”. Tragedi ini sudah bisa lihat di sebagian besar keluarga di sekitar kita, bila ditanya setiap anggota mulai dari anak hingga orangtua pasti memiliki gadget, dan mereka lebih sering meggunakan gadget saat berada di acara keluarga, seperti saat sarapan, berkumpul arisan maupun acara inti keluarga.

Mereka lebih senang senyum-senyum sendiri membaca status Facebook maupun membaca gosipan di grup WA. Sedangkan si anak, mereka lebih fokus kepada game online dan permainan sejenisnya, akhirnya acara keluarga yang diharapkan menyenangkan menjadi hambar. Inilah yang oleh Steiner-Adair disebut big disconnection, tragedi keluarga terbesar sepanjang sejarah umat manusia. Dan barangkali disconnection inilah yang memunculkan fenomena seperti kasus inses dan kecanduan gadget di atas. Karena itu setiap orang tua harus lebih kritis dalam menyikapi setiap aktivitas online anak mereka.

Gadget seperti pisau bermata dua, manfaatnya sangat banyak, sekaligus resiko berbahaya jika digunakan secara kurang bijaksana. Peneliti Joan Ganz Cooney Center, USA misalnya menemukan bahwa anak-anak berusia lima tahun yang menggunakan aplikasi edukasi Ipad mengalami peningkatan kosa kata sekitar 27%, sedangkan pada anak-anak usia tiga tahun kosa katanya meningkat sebanyak 17%. Gadget membuat mereka lebih mudah mengenal nama-nama binatang dan juga cepat mengenal huruf serta menjadikan mereka memiliki kosa kata lebih banyak.

Sedangkan negatifnya, disadari atau tidak kalau sudah memegang HP atau gadget anak-anak seperti tenggelam dalam dunianya sendiri. Mereka jadi lupa makan, malas mandi, dan tak mau keluar rumah untuk bermain dengan teman-temannya. Beberapa sumber menyatakan, ketagihan internet memang sering membuat anak kurang beraktivitas secara fisik. Hal ini membuat anak lebih rentan terhadap obesitas dan risiko penyakit.

Shinta Laksmi, pakar media dalam presentasinya yang berjudul “Peran Perempuan Mengatasi Dampak Mobile Internet pada Anak” mengungkapkan, anak-anak remaja yang aktif menggunakan mobile internet berisiko terhadap perkenalan dengan orang asing, pornografi, bahkan menjadi korban perdagangan anak. Sumber lain menyebutkan, anak-anak rentan mengalami bullying dan trauma. Yang memperihatinkan, anak-anak Indonesia ternyata ‘terlanjur’ bersentuhan dengan konten negatif dari internet. Berdasarkan laporan Norton Online Family Report 2010, terungkap bahwa hampir semua (96 persen) anak-anak Indonesia mengalami hal negatif saat online di dunia maya.

Dalam survey tersebut menjelaskan, sebanyak 55 persen anak-anak yang disurvei telah menyaksikan gambar-gambar kekerasan dan pornografi. Sejumlah 35 persen lainnya mengaku dihubungi orang yang tidak dikenal, dan 28 persen dari mereka pernah menanggapi penipuan. Survey yang dilakukan terhadap anak-anak berusia 10 hingga 17 tahun di beberapa kota di Indonesia tersebut juga mengungkap temuan mengejutkan. Yakni, 36 persen anak-anak Indonesia melakukan online tanpa sepengetahuan orangtua mereka.

Laman sebelumnya 1 2 3Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button