OPINI

Deforestasi dan Pembangunan Kapitalistik Undang Bencana, Alam Semesta Makin Sengsara

Di tengah bencana banjir yang merendam Kalbar, terdengar kabar yang mengecewakan publik. Mahkamah Agung (MA) memutus bebas PT Kumai Sentosa (KS) atas kasus pembakaran hutan dan lahan seluas 2.600 hektare di Kalimantan Tengah. Alhasil, perusahaan sawit ini pun bebas dari tuntutan ganti rugi sebesar Rp935 miliar.

Hakim kasasi MA memutus bebas PT KS dengan alasan perusahaan tersebut telah memasang papan peringatan dilarang membakar lahan. Menurutnya, pekerja juga sudah diberi arahan untuk tidak membakar lahan, serta melakukan pemadaman jika melihat ada api menyala. (bbc.com, 11/11/2021).

Lucunya negeri ini, pelaku pembakaran hutan, penyumbang deforestasi justru divonis bebas, padahal tidak sedikit kerusakan yang ditimbulkan akibat pembakaran hutan. Menolak lupa, kegiatan pembakaran hutan untuk membuka perkebunan sawit inilah yang memicu banjir bandang di Kalsel awal tahun ini. Terbaru, dialami oleh warga Sintang, Kalbar yang terendam banjir hampir tiga pekan lamanya.

Banjir menjadi salah satu bencana hidrometeorologis yang kerap menimpa warga Kalimantan. Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana mencatat sebanyak 2.208 kejadian bencana alam terjadi di Indonesia pada periode 1 Januari hingga 31 Oktober. Dari data tersebut, 40,48% atau 894 kejadian adalah bencana banjir. (katadata.co.id, 1/11/2021). Sementara itu di Kalbar, banjir Sintang menjadi satu dari 40 lebih kejadian banjir di Kalbar, berdasarkan data BPBD Kalbar sepanjang Januari hingga September 2021. (bbc.com, 11/11/2021).

Jika kita telaah dengan baik, pemicu kejadian banjir di Pulau Borneo, semuanya tidak lain karena deforestasi; alih fungsi hutan yang begitu masif akibat perkebunan sawit dan pertambangan; serta pembukaan lahan hutan. Di sisi lain, konversi lahan akibat pembangunan yang kapitalistik menyebabkan jenis tutupan lahan berubah sehingga merusak Daerah Aliran Sungai (DAS).

Gubernur Kalimantan Barat, Sutarmidji bahkan menyebut kerusakan di DAS Kapuas telah mencapai 70% karena pertambangan liar dan perkebunan. Data Balai Pengelola DAS dan Hutan Lindung Kapuas juga mencatat ada lebih dari satu juta hektare lahan kritis dari total 14 juta luas DAS di Kalbar, mayoritasnya berada di DAS Kapuas. (bbc.com, 11/11/2021).

Ya, Daerah Aliran Sungai (DAS) yang semestinya untuk melindungi kawasan di bawahnya, banyak berubah menjadi kawasan produksi, budi daya intensif, pemukiman, dan lain-lain. Fungsi kawasan hulu pun menurun karena berkurangnya kemampuan tanah menahan resapan air. Alhasil, kerusakan DAS menyebabkan hidrologi aliran di daerah tersebut berubah menjadi tidak baik sehingga mengundang banjir.

Konversi lahan sebagai penyumbang terbesar deforestasi pemicu banjir bandang di sejumlah wilayah Kalimantan, semestinya menjadi pusat perhatian tuan penguasa. Nyatanya tidaklah demikian. Alih-alih menyelamatkan kelestarian hutan untuk masa depan, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya malah secara terang-terangan mengatakan “pembangunan yang sedang berlangsung secara besar-besaran tidak boleh berhenti atas nama emisi karbon atau deforestasi”.

Tuan penguasa tampaknya lebih berpihak pada kepentingan yang bernilai ekonomis daripada kemaslahatan rakyat. Tidak heran, jika tuan penguasa masih saja mengizinkan para pengusaha perkebunan sawit dan pertambangan untuk mengalihfungsikan lahan hutan. Tuan penguasa dan para korporasi ini bahkan tidak peduli, bahwa keuntungan yang mereka peroleh tidak sebanding dengan dahsyatnya kerusakan yang ditimbulkan. Apalagi bencana yang disebabkan oleh deforestasi yang mengundang malapetaka.

Nyatanya, alih fungsi hutan secara masif tidak hanya berdampak buruk bagi alam, tetapi juga bagi manusia di sekitarnya. Lihatlah, saat banjir bandang menerjang; ribuan rumah terendam, hewan-hewan kehilangan habitatnya, tumbuhan pun ikut tumbang, sementara manusia kehilangan harta bahkan nyawa. Inilah buah keserakahan tangan-tangan para korporasi dan tuan pejabat.

1 2 3Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button