Gas Melon Masih Langka, Kebijakan Kapitalistik Menyengsarakan

Kelangkaan LPG 3 kg atau gas melon masih terjadi di sejumlah daerah di Indonesia. Meskipun Presiden Prabowo Subianto telah memerintahkan Menteri Bahlil untuk mengaktifkan kembali pengecer LPG 3 kg, nyatanya gas melon masih langka.
Di Kabupaten Majalengka misalnya, sejumlah ibu rumah tangga, pengecer, dan pangkalan masih mengeluhkan kelangkaan gas melon. Bahkan mereka harus berjalan hingga berkilo-kilometer untuk mencari gas melon. (pikiran-rakyat.com, 9 Februari 2025).
Ya, kisruh penjualan gas melon terjadi sejak pemerintah menetapkan kebijakan bahwa penjualan LPG 3 kg bersubsidi hanya diperkenan melalui pangkalan resmi Pertamina pada 1 Februari 2025. Tujuannya adalah untuk memastikan subsidi tepat sasaran dan mencegah penyelewengan yang merugikan. Namun realitanya, kebijakan ini justru memicu kelangkaan gas melon sehingga menimbulkan antrean panjang warga di sejumlah daerah untuk memastikan stok gas melon.
Antrean panjang akibat kelangkaan gas melon ini pun dikabarkan menelan korban jiwa. Yonih (62), seorang penjual nasi uduk di Pamulang, Banten meninggal dunia diduga akibat kelelahan usai mengantar gas melon. Ia meninggal dunia saat sudah sampai di rumahnya setelah melewati antrean panjang untuk mendapatkan gas melon di penyalur resmi di wilayahnya. (IndonesiaDaily.co.id, 9 Februari 2025).
Kebijakan pelarangan menjual gas melon secara eceran, meskipun dengan dalih untuk memastikan agar subsidi tepat sasaran, sejatinya tidak hanya menyusahkan konsumen, tetapi juga mematikan para pedagang kecil. Pedagang eceran pun ikut menjerit karena tak lagi dapat berjualan gas melon. Andai pun mereka tetap berjualan, mereka diharuskan memiliki izin sebagai pangkalan. Jelas membutuhkan biaya yang tidak sedikit untuk menjadi pangkalan.
Perubahan sistem penyaluran LPG yang mewajibkan pengecer beralih menjadi pangkalan resmi untuk mendapatkan stok gas melon merupakan sebuah keniscayaan dalam naungan kapitalisme. Kebijakan ini tidak hanya terkait dengan pergantian menteri atau pejabat, tetapi menjadi konsekuensi atas sistem ekonomi kapitalisme yang bercokol di negeri ini sebagai fondasi perekonomian.
Sistem kapitalisme nyata memudahkan para pemilik modal besar untuk menguasai pasar. Mulai dari bahan baku hingga bahan jadi. Sistem ini nyata membuka pintu liberalisasi sumber daya alam, termasuk minyak dan gas bumi (migas). Sehingga memberikan karpet merah bagi korporasi untuk mengelola sumber daya alam yang berlimpah yang sejatinya milik rakyat.
Meskipun negeri ini memiliki kekayaan migas yang berlimpah ruah, tetapi rakyat tidak dapat mengecapnya dengan murah bahkan gratis. Sebab, pengelolaannya diserahkan pada kapitalisme yang berorientasi materi dan berpihak kepada kepentingan oligarki kapital.
Ya, negara nyata telah melegalkan pengelolaannya dari aspek produksi hingga distribusi dengan orientasi bisnis. Oleh karena itu, perubahan kebijakan apa pun yang dibuat oleh negara pada akhirnya tidak akan pernah memudahkan rakyat untuk memperoleh haknya terhadap migas, yang sejatinya merupakan harta milik rakyat.
Ironisnya, pada saat yang sama kepemimpinan sekuler yang menjadi penggawa di negeri ini telah sukses menjadikan negara lepas dari tanggung jawabnya dalam menjamin pemenuhan kebutuhan rakyat. Kepemimpinan ini telah menghilangkan fungsi negara sebagai pengurus rakyat. Sebaliknya, penguasa justru bertindak sebagai regulator untuk mengakomodasi kepentingan kelompok tertentu atau pemilik modal, meskipun kepentingan rakyat harus dikorbankan.
Sungguh, hal ini jauh berbeda andai pengelolaan migas berada dalam naungan sistem Islam. Islam telah menetapkan bahwa migas termasuk dalam harta milik umum. Baginda Rasulullah Saw bersabda, “Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara, yaitu padang rumput, air, dan api.” (HR. Abu Dawud dan Ahmad).
Berserikat yang dimaksud dalam hadis tersebut adalah berserikat dalam pemanfaatannya. Dengan kata lain, seluruh rakyat boleh memanfaatkannya. Di sisi lain, harta-harta yang berasal dari ketiga perkara tersebut tidak boleh dikuasai oleh individu atau korporasi. Sementara sebagian yang lain dihalangi atau dilarang. Dengan kata lain, ada izin dari Allah SWT kepada semua orang secara berserikat dalam memanfaatkan harta milik umum tersebut.