Deforestasi dan Pembangunan Kapitalistik Undang Bencana, Alam Semesta Makin Sengsara
Mirisnya, deforestasi dengan alih fungsi hutan hanyalah satu dari sejumlah faktor pemicu banjir bandang dan tanah longsor di Indonesia. Direktur Eksekutif Walhi Jabar, Meiki W. Paendong menyebut banjir dan longsor adalah bukti nyata dampak pembangunan di Bandung Utara. (detik.com, 5/11/2021).
Menjadi rahasia publik, pembangunan masif terjadi di kawasan Bandung Utara. Rumah hunian, perumahan kompleks, hotel dan apartemen, hingga objek wisata getol dibangun di kawasan tersebut. Di sisi lain, menurut Walhi, lemahnya penegakan hukum pembangunan di kawasan tersebut, membuat para korporasi tak kunjung berhenti melakukan pembangunan. Inilah faktor terbesar penyebab banjir di cekungan Bandung.
Kondisi yang sama menjadi penyebab banjir di ibu kota Jakarta, yakni sebab pembangunan masif di Bogor yang terus terjadi. Ditambah, buruknya drainase dan menipisnya tanah resapan seolah menjadi masalah umum di perkotaan. Alhasil, banjir pun menjadi langganan di mana-mana.
Kala lingkungan makin rusak oleh ulah manusia-manusia serakah. Rakyat pun dibuat geram dengan kebijakan yang justru lemah dan berpihak pada kepentingan para korporasi. Bebasnya PT KS, pelaku karhutla di Kalteng. Lemahnya tuan penguasa menegakan hukum pembangunan di Bandung Utara. Ditambah adanya Omnibus Law Cipta Kerja yang memberikan celah pembangunan tanpa AMDAL dan IMB. Dapat diprediksi derita rakyat papa makin perih menanggung risiko kerusakan alam yang mengancam nyawa.
Tuan penguasa dalam naungan sistem kapitalisme-demokrasi jelas terbukti hanya sebagai fasilitator dan regulator bagi kepentingan korporasi. Negara tak lagi menjadi pelayanan rakyat, tetapi menjadi negara korporatokrasi. Tidak heran, jika kebijakan yang ada lebih mengakomodasi kepentingan para korporasi daripada terselesaikannya urusan rakyat.
Tuan penguasa lebih peka dengan lobi-lobi pengusaha daripada teriakan warga terdampak pembangunan, yang tak bermanfaat untuk rakyat, sebaliknya justru mengundang malapetaka. Inilah pembangunan kapitalistik. Tata ruang mengabaikan kemaslahatan rakyat, sebaliknya mengutamakan kemauan para pengusaha. Alhasil, malapetaka terus saja menyapa alam dan manusia.
Jika sistem kapitalisme gagal melestarikan alam dan lingkungan, maka sistem Islam sangat menjaga kelestariannya. Sebab keduanya merupakan tempat manusia hidup dan mengemban misi mulianya. Allah SWT bahkan menyeru kepada manusia agar tidak membuat kerusakan di muka bumi. Sebagaimana berfirman-Nya, “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi sesudah (Allah)memperbaikinya, dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya, rahmat Allah sangat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.” (TQS. Al-A’raf [7]: 56).
Dengan demikian, segala pembangunan baik di kawasan maupun di hutan, niscaya mengikuti kemaslahatan seluruh manusia, bukan mengikuti kepentingan oligarki yang memiliki kuasa dan modal. Syarak pun mengaturnya secara detail dan rinci sehingga menuai berkah dan rahmat.
Misal, terkait hutan, Islam telah mengategorikannya sebagai kepemilikan umumnya. Artinya, tidak boleh ada segelintir orang dan golongan yang menguasainya. Sebagaimana sabda Rasulullah saw.,“Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara, yaitu padang rumput (hutan), air, dan api.” (HR. Abu Dawud dan Ahmad).
Sementara itu, peran negara hanyalah bertugas mengelolanya dan mendistribusikan hasilnya semata-mata untuk rakyat. Haram bagi tuan penguasa memberikan pengelola hutan untuk asing maupun swasta, baik individu maupun golongan. Apalagi jika buah dari hak pengelolaan tersebut adalah bencana yang mengundang derita rakyat.