NUIM HIDAYAT

Demokrasi Islam

Bagi kelompok Islam yang menolak demokrasi, dua kata ini bertentangan. Demokrasi berasal dari Barat tidak bisa disatukan dengan Islam. Apakah benar demikian?

Di diri umat Islam, setidaknya ada tiga kelompok dalam memandang demokrasi. Pertama, kelompok yang menolak demokrasi. Ini diantaranya Hizbut Tahrir dan Salafi. Kedua, kelompok yang menerima sepenuhnya demokrasi (liberal). Ini dipelopori kelompok ‘Islam Liberal’. Ketiga, kelompok yang menerima sebagian konsep demokrasi dan menolak sebagian yang lain, karena bertentangan dengan Islam. Ini adalah kelompok Partai Masyumi dan pengikutnya.

Tokoh Masyumi, Mohammad Natsir mengajukan konsep demokrasi teistis. Demokrasi berketuhanan. Demokrasi yang landasannya Tauhid, Ketuhanan Yang Maha Esa. Menurut Natsir semua dimusyawarahkan, kecuali yang jelas-jelas bertentangan dengan Islam.

Gagasan Natsir ini selaras dengan pemikiran ulama besar asal Pakistan, Abul A’la Maududi. Maududi menyatakan bahwa konsep Islam tentang sistem negara bukanlah teokrasi atau demokrasi. Tapi gabungan keduanya. Maka Maududi mengajukan konsep Teodemokrasi. Demokrasi yang dilandasi prinsip-prinsip Islam.

Demokrasi liberal, seperti yang diterapkan di Indonesia dan dunia sekarang, telah banyak menimbulkan mudharat. Di tanah air, dalam penerapannya demokrasi malah banyak berubah menjadi Cukongikrasi. Dimana para cukong, para pemodal mengendalikan para pemimpin di belakang layar. Baik sebelum atau setelah pemilu.

Goenawan Mohamad, pendiri Majalah Tempo, meluncurkan istilah Familikrasi. Kejadian dimana para pemimpin atau pejabat tidak bisa mengendalikan nafsunya untuk menjadikan anaknya, istrinya atau keluarganya untuk menjadi pemimpin. Pemimpin karbitan, seorang pemimpin yang sebenanya tidak layak jadi pemimpin, tapi didorong jadi pemimpin dengan dukungan dana yang besar.

Bila Natsir menggunakan istilah demokrasi teistis, maka Mohammad Hatta, mantan wakil presiden, lebih suka istilah demokrasi Islam. Lukman Hakiem, penulis biografi tokoh-tokoh Masyumi, menyatakan bahwa menurut Hatta, masa lalu memperlihatkan kepada kita, betapa mudahnya orang memutar dasar negara dari demokrasi menjadi diktator di bawah janji palsu Demokrasi Terpimpin. Demokrasi yang berarti pemerintahan rakyat dengan tanggung jawab bersama, mudah saja diganti dengan kultus perseorangan.

Hatta kecewa dengan teman akrabnya Soekarno. Mereka dulu yang berdua menggelorakan demokrasi parlementer, diubah Soekarno menjadi demokrasi terpimpin, tunggal. Parlemen hasil pemilu 1955 dibubarkan, diganti Soekarno tahun 1959 dengan kabinet Nasakom: Nasionalis, Agama dan Komunis. Partai Masyumi menolak. Maka tahun 1960 Masyumi dibubarkan Presiden.

Hatta bersama anak-anak muda Islam, Gerakan Demokrasi Islam Indonesia (GDII) lebih dulu, sebelum menjadi Partai. Menurut Hatta, tugas utama GDII ialah mendidik rakyat yang akan menjadi pengikutnya untuk memahami Demokrasi Pancasila dengan penuh rasa tanggung jawab terutama kepada Tuhan, dan kepada masyarakat.

“Ajaran Islam tentang demokrasi dan sosialisme beserta isi daripada UUD 1945 menjadi pedoman bagi gerakan ini,” tegas Hatta.

1 2 3Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button