NUIM HIDAYAT

Demokrasi Islam

Hatta menggagas gerakan yang kelak akan menjadi partai itu antara lain bersama Mashud Sosrohardjo, Ismail Hasan Metareum, Ustadz H. Abus Salam Djaelani, H. Salihin Hasan, Nuckman Syarief, Zuber Hussein, Harjono, Januar Hakim, Mohammad Daud Ali, Norman Razak, Rosman Anwar, Ibrahim Madylao, Kamil Tjokroaminoto, Kamaralsyah, Habibah Daud, Sulastomo, dan Deliar Noer.

Persiapan-persiapan dilakukan mulai 1965. Juru bicara Masyumi terakhir, Anwar Harjono menuturkan, sesudah pemberontakan PKI pada 30 September 1965, dirinya melakukan komunikasi intensif dengan Hatta. Sebagai salah seorang aktivis Liga Demokrasi yang dibubarkan oleh Presiden Sukarno, Harjono menganjurkan Hatta untuk mengumpulkan semua anggota Liga Demokrasi sebagai sebuah kekuatan prodemokrasi yang mencakup berbagai tokoh partai dan aliran politik yang saat itu hidup di Indonesia.

Pada 11 Januari 1967, Hatta berkirim surat kepada Presiden Soeharto menjelaskan maksudnya mendirikan GDII yang dalam tiga bulan akan menjadi PDII. Hatta sendiri yang menyampaikan surat itu kepada Soeharto.

Karena sampai bulan April belum ada jawaban dari Pemerintah, pada 14 April 1967, Hatta kembali menyurati Presiden. Dalam suratnya kali ini, Hatta mengakui berbagai keberatan dari DPR Gotong Royong terhadap rencana kelahiran partainya.

Pada 17 Mei 1967, pada saat GDII akan segera diumumkan, datang surat dari Presiden Soeharto yang menyatakan Pemerintah tidak setuju pembentukan GDII dan PDII. Keinginan Hatta untuk membumikan Demokrasi Islam pun tumbang.


Masalah demokrasi ini memang menjadi perdebatan para ulama. Mereka yang anti demokrasi, menyatakan bahwa kehendak rakyat jangan dituruti semua. Karena diantara rakyat itu ada yang senang maksiat atau kejahatan. Yang harus diikuti adalah kehendak Tuhan (Allah) dalam kitab suci. Manusia yang harus ikut kita suci bukan kitab suci yang ikut nafsu manusia. Kitab suci ditafsirkan oleh para ulama yang kompeten di bidangnya atau orang-orang shalih yang serius dalam menekuni kitab suci (Al-Qur’an).

Tentu hal ini adalah benar. Tapi diantara rakyat banyak juga yang berperilaku baik dan pemikirannya benar, tidak bertentangan dengan wahyu. Dan itu layak diambil aspirasinya.

Maududi menggali ayat-ayat Al-Qur’an dan sejarah, dan akhirnya berkesimpulan bahwa sistem yang ‘demokratis’ hanya terjadi pada masa Khulafaur Rasyidin. Setelah masa itu, kekhalifahan berlangsung dengan model kerajaan, meski hukum-hukum Islam diterapkan di sana. Karena itu kemudian didapati ada khalifah-khalifah yang zalim terhadap rakyatnya ada yang adil terhadap rakyat.

Model kerajaan, bagi bangsa Indonesia telah berlalu. Saat para ulama hidup dalam sistem kerajaan, para ulama tidak sibuk mengecam sistem kerajaan yang ada. Para ulama justru berdakwah pada para Raja, ‘mengislamkannya’ dan berusaha agar hukum atau nilai-nilai Islam diterapkan dalam kerajaan. Maka muncullah kerajaan-kerajaan Islam: Samudra Pasai, Kerajaan Demak, Kerajaan Tidore, Kerajaan Banten dan lain-lain. Kerajaan-kerajaan Islam ini adalah cikal bakal terwujudnya Nusantara atau Indonesia sekarang ini.

Peradaban manusia kemudian berkembang. Sistem kerajaan, dianggap tidak cocok lagi bagi manusia. Karena dalam sistem ini transparansi perilaku pemimpin/pejabat sangat dibatasi, pergiliran kepemimpinan hanya di kalangan keluarga, kemerdekaan berpikir dibatasi, ilmu kurang berkembang dan seterusnya. Maka muncullah demokrasi.

Laman sebelumnya 1 2 3Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button