Dongeng si Kancil, Pinokio, dan Penguasa
Sejak kecil kita selalu didongengkan tentang kancil yang cerdik. Betapa pintarnya kancil mengelabui binatang yang lain. Ada saja akalnya kancil untuk berbohong dan menyelamatkan diri sendiri. Ingatlah ketika para buaya tertipu dengan janji-janji manis si kancil. Ternyata para buaya hanya dijadikan alat bagi kancil untuk bisa menyeberangi sungai.
Fabel si kancil ini terbenak di diri kita. Tanpa kita pernah mengguggat akan nilai-nilai yang salah disana. Entah apa karena kita sudah memiliki frame bahwa itu hanya dongeng. Atau sudah berpikir bahwa kancil adalah binatang, jadi tak mengapa dia tipu-tipu.
Dongeng hadir untuk mewakili fakta yang terjadi pada manusia. Dongeng adalah gaya berpesan dengan cara tidak langsung. Artinya, di kehidupan manusia saat ini memang berkembang keadaan yang sama. Perihnya, tipu muslihat itu digawangi langsung oleh rezim negeri ini dan dijaga oleh para pendukungnya.
Keniscayaan suara terbanyak sebagai indikator kemenangan mewajibkan kontestan untuk bermanis muka dan berjanji muluk. Secara fitrah, setiap manusia menyukai yang baik-baik ataupun yang manis dan indah. Sayangnya, fitrah manusia ini pun dinodai dengan hadirnya para kontestan yang hanya menyatroninya di tiap lima tahun. Membawa janji palsu dan mengkhianati rakyat ketika berkuasa.
Mari lihat kelakuan rezim saat ini. Menuju pilpres 2019, bebaslah dia berkampanye atas alasan kunjungan kerja atau meresmikan ini itu dan lain-lain. Di sela-sela itu tak lupa diberikannya janji manis jika dia dipilih kembali. Terbaru, dia berjanji memberi gaji bagi pengangguran jika dia terpilih kembali (radarbogor.id, 06/03/2019). Padahal saat dia berjanji, kedudukan dia masih sebagai presiden. Ini lucu.
Orang bijak berkata, suatu kebohongan akan diikuti oleh kebohongan yang lain. Ketika ramai di sosial media tentang WNA memiliki KTP, rezim pun membantahnya. Ternyata bukan hoax semata WNA ber-KTP pun ditemukan (surabaya.tribunnews.com, 05/03/2019). Yang dikhawatirkan warga, para WNA ini dikerahkan untuk memenangkan rezim di pilpres April nanti. Tanpa meminta maaf atas kebohongan sebelumnya, rezim kembali membuat pernyataan bahwa tak ada WNA pemilik KTP Elektronik yang terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) (merdeka.com, 27/02/2019). Fakta kembali menelanjangi kebohongan rezim, di Jawa Tengah ada WNA ber-KTP yang terdaftar dalam DPT (Jpnn.com, 06/03/2019).
Sungguh, rakyat telah jengah atas kebohongan dan janji palsu rezim. Kesejahteraan serta ketenangan hidup di negeri ini tak kunjung dirasakan rakyat. Membangun jalan tol dengan utang kepada negara lain bukan untuk kemudahan transportasi rakyat. Jalan tol berbayar dengan tarif yang tak murah. Terbukanya lapangan pekerjaan ternyata bukan untuk rakyat, tapi untuk pekerja asing.
Tiket pesawat mahal alasannya avtur mahal karena monopoli pertamina, ternyata liberalisasi avtur di sektor hilir. Sudah ada swasta yang siap jualan avtur menyaingi pertamina. Ditambah lagi pajak yang meningkat karena Utang Luar Negeri (ULN) semakin bertambah. ULN RI naik menjadi Rp5.275T (m.detik.com, 15/02/2019). Rakyatpun meresahkan besarnya utang, khawatir akan membahayakan kedaulatan negara. Namun rezim sesumbar bahwa negara maju justru utangnya lebih banyak (m.detik.com, 23/01/2019).
Dan masih banyak lagi kebohongan rezim jika dituliskan satu persatu. Hingga hasil survei Indonesia Network Election Survey (INES) menyatakan 68,2 persen responden nilai Jokowi-JK tidak tepati janji kampanye (wartakota.com, 06/05/2018). Berdasarkan survei INES pula, hanya 19,5 Persen responden setuju Jokowi-JK sudah tepati janji (aceh.tribunnews.com, 06/05/2018).
Jika rezim adalah pinokio si boneka kayu, tentu tak terbayang sepanjang apa hidungnya. Hidung pinokio akan bertambah panjang jika dia melakukan kebohongan. Bayangkan, dari 66 janji yang diucapkan saat kampanye di 2014 (eramuslim.com, 21/01/2019), hanya sedikit yang terealisir. Itupun mengaku tak punya beban masa lalu. Bahkan mengaku takut pada Allah.
Kekuasaan yang dibangun diatas janji namun diingkari. Atau diatas perkataan dusta. Dan diatas pengkhianatan amanat rakyat. Sejatinya adalah kekuasaan yang bertumpu pada pilar yang rapuh. Bahkan kebohongan, kedustaan dan pengkhianatan itu laksana rayap yang siap menggerogoti singgasana rezim.
Lahirnya pemimpin yang ingkar janji, pembohong, khianat dan dzalim adalah hasil dari sistem kehidupan sekuler materialistik. Ketika ketakutan pada Allah hanya di bibir semata, tak sampai ke akal dan hati. Yang terbersit hanyalah meraih kekuasaan demi kebahagiaan hidup, dengan menghalalkan segala cara. Dengan memiliki kekuasaan, maka akan mudah mengumpulkan harta.
Akhirat masih terlalu jauh, dosa pun tak kelihatan, bayangan siksa neraka pun tak ada. Hingga tak menjadi variabel pertimbangan dalam melaksanakan tanggung jawab sebagai pemimpin. Pemimpin seperti ini akan membawa kesengsaraan bagi rakyatnya. Doa-doa keburukan untuk pemimpinnya, yang meluncur dari mulut rakyat yang dizholimi, sejatinya semakin membuat negeri itu terpuruk. Bukankah Allah akan mengabulkan doa orang yang dizholimi? Dan tidakkah akhirnya kacau balau negeri tersebut jika di bawah kendali kepemimpinan yang buruk?.
Hanya pemimpin yang bertakwa, yang mampu menyatukan antara lisan, hati dan pikiran untuk senantiasa takut pada Allah. Baginya, kekuasaan adalah sesuatu yang akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah. Maka ia akan berhati-hati dalam berkata, menepati janji dan berupaya menjadi pemimpin yang amanah.
Pemimpin bertakwa ini lahir dari masyarakat yang bertakwa dengan negara yang bertakwa pula. Adalah Umar bin Khattab, khalifah kedua setelah Abu Bakar Ash-shiddiq, pernah memanggul sekarung gandum untuk rakyatnya yang kelaparan, bahkan memasakkan untuk keluarga tersebut. Umar pun memiliki slogan bahwa ia akan duluan kelaparan ketika rakyat lapar dan terakhir kenyang jika rakyat kenyang.
Umar juga pernah menangis takut, terbayang hari pertanggungjawaban, ketika ajudannya melaporkan ada keledai yang terperosok kakinya di jalan yang rusak dan berlubang. Keledai itu tergelincir dan masuk ke jurang hingga mati. Sang ajudan keheranan melihat Umar yang tegas itu menangis sedih. Hingga sang ajudan pun berkata bahwa yang mati hanya seekor keledai. Dengan nada serius Umar berkata: “apakah engkau sanggup menjawab dihadapan Allah ketika ditanya tentang apa yang telah engkau lakukan ketika memimpin rakyatmu?.”
Tak kalah dengan kakeknya, Umar bin Abdul Aziz, cicit dari Umar bin Khattab pun memimpin dengan penuh amanah dan ketaatan pada Allah. Sistem ekonomi Islam terintegrasi dengan sistem pemerintahan di bawah kekuasaannya, yang menerapkan syariat Allah, telah membuat surplus kas negara. Kesejahteraan rakyat pun merata hingga tak ada lagi rakyat yang bersedia menerima zakat.
Dua sosok pemimpin bertakwa ini tak lahir di zaman dongeng si kancil, juga film pinokio. Hadirnya mereka dirindukan ummat dan rakyatpun senantiasa mendoakan kebaikan bagi mereka. Doa-doa kebaikan yang senantiasa membumbung tinggi memenuhi atmosfer negeri, akan mengundang barokah Allah dari langit dan bumi. Wallaahu a’lam []
Mahrita Julia Hapsari, M.Pd
Praktisi Pendidikan