Drama Layangan Putus, Tendensius terhadap Poligami?
Seorang ibu yang rusak, akan melahirkan generasi yang rusak pula. Sayang seribu sayang, hal ini tidak banyak disadari oleh kalangan hawa bahwa akan ada segala cara yang dilakukan oleh musuh-musuh Islam (Barat) yang membuat skenario kerusakan tersebut. Sehingga, kehidupan kaum hawa hari ini banyak terpengaruh oleh gaya hidup barat sekuler yang memisahkan agama dari kehidupan dan pemikiran-pemikiran rusak yang menggerus akidah kaum hawa ‘wabilkhusus’ seorang ibu. Salah satu cara perusakannya adalah melalui media (tayangan) ini.
Tidak ada asap kalau tidak ada api. Tidak ada Layangan Putus kalau tidak yang memulainya. Artinya, kasus perselingkuhan sudah menjadi tren di masa kini. Mereka memilih halalkan satu, tapi banyak memiliki simpanan. Mereka mengagganp poligami itu mendeskreditkan peran perempuan dan menjadikan perempuan seakan-akan korban kezaliman suami. Sehingga terbaca sekali ini adalah upaya penggiringan opini sesat tentang poligami yang mana termaktub di dalam syariat Islam. Oleh karena itu, pemahaman yang salah berkembang ini perlu diperbaiki.
Pernikahan dalam Islam tak seperti Layangan Putus
“Qabiltu nikahaha wa tazwijaha alal mahril madzkuri haalan” atau biasa kita dengar, “saya terima nikah dan kawinnya fulanah binti fulan dengan mas kawin dan seperangkatnya, dibayar tunai”
Apa yang pertama kali terbayang saat kita berada dalam posisi tersebut? sebagai pengantin wanita, saya tentunya merasa deg-degan, berkeringat dingin, takut, namun tentu saja ada bahagia yang terasa. Begitu pula yang dirasakan oleh pengantin laki-laki sebagai orang yang mengucapkan serah terima berjubel amanah menggantikan posisi ayahnya saat itu. Pernikahan dalam islam dimakani sangat agung, pernikahan itu bukan hanya sembarang ucapan perjanjian, melainkan sebuah perjanjian yang kuat sampai-sampai disejajarkan dengan perjanjian agung (mitsaqan ghaliza) antara Allah dan para Rasul sebagaimana yang tertuang dalam surat An-Nisa’: 20-21. Sayyid Qutub dalam Tafsir Fi Zhilaalil Qur’an, mengartikan lafal “Mitsaqan Ghaliza” merupakan perjanjian akad nikah, dengan nama Allah, dam merupakan perjanjian yang kuat dan tidak akan direndahkan. Dengan begitu, suami istri menghormati perjanjian yang kuat ini.
Ketika seorang laki-laki menerima nikah dan kawinnya wanita tersebut, maka diterima pula sifat ngambeknya, sedihnya, marahnya, egoisnya, bebannya, dan segala dosa-dosa yang diperbuat si isterinya kelak. Maka perjanjian yang ditanggung sang suami ini tentunya sangat berat dan bukan perkara main-main. Apalagi syariat dalam pernikahan itu begitu lengkap dan rinci, sehingga seharusnya sebagai seorang muslim harus memiliki tekad yang kuat lagi mantap ketika memutuskan untuk menikah.
Terjadinya keretakan dan kehancuran sebuah rumah tangga sebenarnya harus dilihat akar masalahnya Ketika nilai nilai agama dipisahkan dari sendi kehidupan dalam pergaulan masyarakat. Layangan Putus adalah adalah fenomena drama kehancuran rumah tangga di tengah arus isu moderasi beragama. Maraknya kasus perselingkuhan yang diumbar di media sosial dan diangkat ke layar kaca merupakan sekadar manfaat material yang diambil bagi kaum kapitalis yang menjadikan asas manfaat sebagai ukuran baik atau buruknya norma kehidupan. Poligami dianggap tabu, sementara perselingkuhan dianggap biasa.
Islam sebagai aturan kehidupan menawarkan solusi sebagaimana ditulis oleh Syekh Taqiyuddin An Nabhani dalam kitab An-Nizam Al-Ijtimai fi Islam, bahwa poligami atau berbilangnya istri merupakan perintah Allah Swt yang hukumnya boleh, dan bersifat mutlak tanpa adanya syarat atau batasan tertentu.
فَانْكِحُوْا مَا طَابَ لَكُمْ مِّنَ النِّسَاۤءِ مَثْنٰى وَثُلٰثَ وَرُبٰعَ ۚ
“Maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat.”(QS An Nisa: 3)
Poligami merupakan bagian dari hukum syarak yang tertuang di dalam Al Qur’an secara jelas. Namun, barat dengan pemahaman kapitalis-sekulernya menyelewengkan makna poligami dengan gambaran yang keji dan busuk. Mereka pun menjadikan poligami sebagai alat untuk menikam Islam sehingga umat Islam “terkaburkan” dengan syariat poligami yang sebenarnya.Liciknya, mereka dengan bantuan pemegang kekuasaan (pemilik media), dan kaum intelektual mendoktrin kaum hawa dengan pemahaman “cacat”nya poligami. Mereka berusaha menakwilkan nash-masih syarak secara batil untuk melarang poligami. Alhasil, poligami yang merupakan bagian dari hukum Islam berhasil di stigma negatif.
Karena itu, sebagai muslim kita harus mengingat kembali bahwa baik buruknya sesuatu harus disandarkan kepada hukum syarak. Hal yang terpuji adalah apa saja yang terpuji menurut syarak, dan hal yang tercela adalah apa saja yang dicela oleh syarak Dan hal yang dibolehkan oleh syarak merupakan sesuatu yang terpuji, dan sebaliknya apa saja yang diharamkan syarak merupakan sesuatu yang tercela. Al-Qur’an telah menyatakan kebolehan poligami, maka poligami merupakan sesuatu (tindakan) yang terpuji. Sebaliknya, tindakan yang melaramg poligami merupakan suatu perbuatan yang tercela karena tindakan demikian merupakan bagian dari pandangan kufur barat.
Oleh karenanya, persepsi kita harus benar terkait poligami, bahwa Islam tidak menjadikan poligami sebagai suatu kewajiban atau sunnah bagi kaum muslim. Akan tetapi Islam hanya menjadikan poligami sebagai sesuatu yang mubah/boleh dilakukan jika memang menghendakinya. Islam membolehkan manusia untuk tidak mengharamkan diri mereka terhadap wanita-wanita yang mereka senangi. Jika menurut pandangan diri mereka cenderung untuk berpoligami, maka boleh hukumnya dan bukan sebagai kewajiban. Hal ini menjadikan poligami sebagai solusi yang paling efektif yang ditawarkan Islam untuk mendudukan syahwat pada tempat yang benar. Wallahu’alam.
Ahsani Annajma, Penulis dan Pemerhati Sosial.