RESONANSI

Fatwa Tobat atau Jahat dari Penjara Kamar Jeruji Besi FS?

Kapolri tengah mempercepat proses kasus pembunuhan berencana Brigadir Joshua (BJ). Itu tidak saja karena dorongan Presiden, tetapi juga publik: Ferdy Sambo (FS) sudah menjadi tersangka dan dipecat dengan tidak hormat dari Polri sesuai hasil sidang kode etik Polri.

Tetapi, salahnya justru mengapa lebih cepat organisasi Satgasus Non Struktutral itu harus dibubarkan terlebih dahulu? Seolah tanpa bekas, tanpa siapa yang harus diminta pertanggungjawabannya?

Padahal, patut diduga jika benar ketika bersamaan terkuaknya kasus pembunuhan BJ, kinerja “kejahatan terselubung” Satgassus secara kebetulan diketuai oleh FS sempat terseret dan terendus juga oleh media sosial dan publik. Justru, kasus “maha besar” inilah yang bakal lebih merusak dan menghancurkan institusi Polri dalam eskalasi masif dan luar biasa.

Bahwa betapa telah terjadi “penyimpangan yang paling jahat dan ekstrem” dari organik non struktural yang langsung dipertanggungjawabkan oleh dan kepada Kapolri. Itu berarti masih di bawah institusi hukum Polri. Malah menaungi, menyelubungi dan meng-cover up jaringan perjudian yang disebut “konsorsium 303”, peredaran narkoba dan miras, money laundring, investasi bodong, prostitusi, traffiking, penyelundupan, mafia-mafia kasus kejahatan lainnya, dianggap dan diakui sebagai untuk mendapatkan “dana operasional”, di luar pembiayaan keuangan resmi Polri.

Pun sudah dipastikan FS bakal dijebloskan ke penjara di kamar jeruji besi —probabilitas sama PC istrinya juga, dikarenakan pemberatan kasus pasal pembunuhan berencana terhadap BJ yang telah diakuinya sendiri. Kemungkinan yang meringankannya hanya vonis hakim nanti di persidangan yang tak bakal FS dihukum mati, katakanlah hanya seumur hidup.

Pertanyaannya, dari kamar jeruji besi itu ibarat “satu keping logam bermata dua sisi” yang meluncur justru apakah akan terjadi adanya “fatwa tobat” di satu sisi atau “fatwa jahat” di sisi lainnya dari FS?

Sehubungan sempitnya ruang dan waktu FS bisa saja —jika diniatbaikkan, melakukan pertobatan alias penebusan atau pengampunan dosa itu, lebih tepat waktunya bisa saja sambil menunggu selesai pemberkasan pasal 21 atau nanti pada saat persidangan berlangsung?

Jika yang muncul dan terjadi kemudian, adalah di sisi “fatwa tobat” dari FS, otomatis status terhukum dan terpidana FS boleh dikatakan lebih dari sekedar whistleblower. Implementasi pertobatannya dengan penembusan dan pengampunan dosanya bak rentetan “peluru” dari senjata glock yang telah ditembakkan ke jasad Joshua, adalah pembuktian pembalasan atas dosa kesalahannya dengan dan untuk mendobrak dan mengobrak-abrik segala kebrobokan yang ada di tubuh Polri, aib yang sungguh telah dicorengkannya ketika FS menjalani jabatan Ketua Satgassus Non Struktural Polri itu?

Upaya ini juga pada titik akhirnya harus dianggap sebagai tujuan utama FS sebagai mengembalikan harkat, marwah dan martabat institusi Polri, sebagaimana dia juga telah “mengorbankan diri” karena menjaga martabat dan harkat kekuarganya?

Toh, sudah terendus di publik dan mendengung keras juga di media sosial, terkait jabatannya yang Kadiv Propam maupun Ketua Satgassus Non Struktural Polri, dia berkuasa dan menjadi sangat kuasa itu tidak berdiri sendiri, dia masih di bawah dan ada yang paling berkuasa di atasnya yang disebutnya sebagai “kakak asuh” dan atau “kakak pembina”. Yang kedua hirarki jabatan itu sama-sama dibentuk dan dijadikan kepada FS itu tentu saja atas jasa “kakak asuh dan pembina itu”.

Dilihat dari jejak pendiriannya organisasi Satgassus Non Struktural Polri itu diinisiasi oleh Tito Karnavian melewati semasa Idham Azis hingga Listyo Sigit Prabowo, apakah ini akan juga menyeret kepada Tito dan Idham, termasuk Listyo sendiri bahkan tidak cukup menyeret di area lingkaran mafia kasus-kasus hukum saja, tetapi juga akan menyentuh pula ke urusan mafia kasus-kasus politik juga?

1 2Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button