LAPORAN KHUSUS

Gara-gara Ponsel Pintar, 80 Persen Anak-anak di Asia Derita Rabun Jauh

Tingginya aktivitas menggunakan ponsel pintar (smartphone) dan rendahnya bermain di luar ruangan, anak-anak di Asia mengalami penurunan daya penglihatan.

80% anak-anak di Benua Kuning dilaporkan mengalami rabun jauh. Para ahli kesehatan mata menyatakan satu dari lima anak itu berpotensi mengalami gangguan mata lebih jauh hingga kebutaan.

Seseorang dapat dikatakan mengalami rabun jauh jika tidak mampu melihat dengan jelas dalam jarak kurang dari dua meter. Permasalahan ini banyak muncul di kalangan anak-anak zaman sekarang akibat tingginya penggunaan smartphone dan padatnya jadwal belajar sehingga mereka jarang bermain di luar rumah.

Profesor Ian Morgan dari Australian National University mengatakan, sebelumnya jumlah rata-rata anak-anak pengidap rabun jauh di Asia hanyalah sekitar 20-30%, hampir sama dengan di Eropa.

“Kita berbicara tentang kebutuhan tubuh agar terpapar sinar matahari selama 2-3 jam,” ujar Morgan, dikutip BBC. “Di dalam mata kita terdapat hormon dopamin. Paparan sinar matahari dapat menaikkan kadar dopamin di dalam mata kita sehingga bola mata tidak mengalami pelonjongan secara terus menerus,”

Rabun jauh mewabah di Asia sejak satu dekade terakhir. Angka prevalensinya diestimasikan mencapai 80% di Singapura, 31% di China, 41% di Malaysia, 64,6% di Korea Selatan (Korsel), dan 25,6% di Jepang. Kondisi ini cukup memprihatinkan mengingat angkanya melambung sangat tinggi setidaknya sejak abad ke-20.

Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Jepang bahkan menyatakan rabun jauh telah menyerang anak-anak sejak dini. Berdasarkan hasil survey, sebesar 34,6% anak-anak sekolah dasar (SD) di Jepang didiagnosa mengalami rabun jauh. Adapun, anak-anak sekolah menengah pertama 57,5% dan sekolah menengah atas 67,6%.

“Kami menduga penyebarluasan gangguan mata ini disebabkan kebiasaan anak-anak yang terlalu dekat dengan layar saat menggunakan smartphone atau saat membaca buku,” ungkap Kemenkes Jepang, dilansir Japan Times. Data awal tersebut diambil dari hasil penelitian di seluruh wilayah Jepang antara April-Juni.

Meski demikian, hanya sekitar 9,04% anak-anak SD Jepang yang menggunakan kacamata atau lensa mata. Jumlah anak-anak SD yang mengalami penurunan ketajaman mata di bawah 0,7 dan tidak memakai kacamata mencapai 13,56%. Tren ini kini lebih diidentikan dengan dampak smartphone, bukan belajar.

Jepang merupakan pasar gaming terbesar ketiga di dunia. Sebagian besar anak-anak di Jepang senang bermain games mobile, yakni 41% untuk laki-laki dan 32% untuk perempuan. Meski dampak langsung dari layar smartphone hanya menyebabkan mata kelelahan, dampak tidak langsungnya sangat besar dan luas.

Kantor Kabinet Jepang menyatakan sebanyak 82,5% anak-anak SD-SMA merupakan pengguna internet. Mayoritas dari mereka mengakses internet via smartphone. Mereka biasanya menggunakannya untuk bermain game, menonton video, mendengarkan musik, dan berkomunikasi minimal selama 214 menit per hari.

China yang menjadi pasar gaming terbesar di dunia juga menghadapi permasalahan serupa. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebut kondisi di China sangat memprihatinkan. Untuk melindungi kesehatan anak-anak, Pemerintah China akhirnya membatasi waktu bermain game dan frekwensi rilis game.

Anak-anak di China juga didorong untuk tidak begadang, memenuhi nutrisi, dan bermain di luar rumah. Selain itu, setiap sekolah rutin melakukan pemeriksaan kesehatan mata. Pemerintah China berharap angka pengidap rabun jauh akan berada di bawah 38% di kalangan anak-anak SD, 60% SMP, dan 70% SMA.

WHO menyatakan rabun jauh merupakan wabah global. Jumlah pengidap rabun jauh di dunia diperkirakan mencapai 2,6 miliar orang pada 2019. Namun, WHO tak menyangkal kasus terbanyak ditemukan di Asia. Berdasarkan studi, prevalensi rabun jauh tertinggi terjadi di Singapura, China, Jepang, dan Korsel.

“Gangguan mata telah meluas di tengah masyarakat dunia. Meski demikian, sebagian besar dibiarkan dan tidak ditangani. Mereka juga tidak dapat membeli kaca mata khusus,” ujar Direktur Jenderal (Dirjen) WHO, Dr Tedros Adhanom Ghebreyesus. “Saya berharap mereka dapat menerima penanganan medis,” tambahnya.

sumber: Koran Sindo

Back to top button