‘Genderuwo Politik’
Sang putra mahkota yang masih menjadi rezim penguasa pun tiba-tiba menarasikan pernyataannya dengan kata-kata bersayap: jangan terlalu terburu-buru menentukan dan memilih calon Presiden. Memilih Presiden ibarat memilih pilot… dst.
Narasi itu apakah nyinyir kepada salah satu sempalan partainya yang memberontak yang sudah mendeklarasikan Presidennya? Yang bakal calonnya itu bak “Kesatrian Ratu Adil” yang digadang-gadang bakal mampu menyingkirkan putra mahkotanya itu tanpa ampun?
Atau merekalah yang secara sendiri-sendiri dan atau bersama-sama justru lagi benar-benar kebingungan akan memilih an sich siapa calon presiden dan wakilnya? Sampai kedua putra mahkota ini tersebar di medsos akan mengkudeta ibu ratu Ketum partai merah moncong banteng putih itu sebagai ibu surinya sendiri?
Jika memang hal tersebut sampai terjadi maka “Genderuwo Politik” itu tengah benar-benar menjalankan “Politik Genderuwo” yang memang demi memperebutkan tahta kekuasaan apa pun dan bagaimana pun caranya bakal dihalalkan.
Sekalipun, itu di dalam kepentingan partai politik di internalnya sendiri, bekas kolega politik, atau bekas anggota partai oligarkinya sendiri. Tak peduli “nyungsep”, atau sekalianlah disingkirkan.
Sebutan “Genderuwo Politik” sebagai sosok maupun “Politik Genderuwo” sebagai cara taktik dan trik licik dan curang jalannya, hal pasti yang terjadi, adalah suatu pengabaian yang disengaja, jangankan itu untuk kepentingan perbaikan bangsa dan negara, apalagi untuk kepentingan yang lebih besar dan adil menyejerahterakan rakyat.
Tak peduli rakyat sengsara selalu dibiarkannya terjerat dan terperangkap menderita kemiskinan. Dan lebih jahatnya lagi itu hanya dijadikan korban propaganda pembangunan, tetapi tetap selalu dimiskinkan dan mengalami pemiskinan.
Itulah salah satu kengerian yang sesungguhnya sangat mencekam dibanding kengerian melihat sosok nyata sang dewi “Sundel Bolong”: tetapi penderitaan rakyat yang tetap marak dan masif tak sejahtera dan tak diperlakukan secara adil oleh hukum kedua matanya selalu dipicingkan.
Itu terjadi justru mereka -para antek GP itu, memanfaatkan masih dalamnya jurang disparitas pengetahuan rakyat yang masih rendah akan demokrasi yang seharusnya wajib diberikan pembelajarannya—yang justru menjadi hak politiknya.
Yang selalu dikebiri dan dibodohi dengan bertukar mahar murah hanya dengan sekadar kantong-kantong plastik sembako dan atau amplop-amplop putih tipis berisi selembar duit!
Yang hanya beberapa jam saja sesudahnya, sudah tak berharga lagi, yang tak sebanding dengan nilai dengan kedaulatan rakyat, yang sesungguhnya tak ternilai lebih dari nilai bak “mahkota raja” yang terpasang di kepalanya sendiri.