H. Agus Salim: Diplomat Indonesia Terbaik
…Banyak sekali yang dapat dilakukan oleh Salim sebagai dokter untuk rakyatnya. Dan sesungguhnyalah, adalah idaman Salim untuk bekerja bagi rakyat kita.
…Salim sendiri tidak tahu apa-apa : ia tidak tahu eksistensi kami malah. Yang diketahuinya hanyalah bahwa dengan sepenuh hati ingin ia menyelesaikan pelajarannya, agar kemudian dapat bekerja untuk rakyatnya. Dan ia juga sadar bahwa itu suatu idaman mustahil, karena ia tak mempunyai dana.” (Lihat buku Agus Salim, Pesan-Pesan Islam, Mizan, 2011).
Menurut Syafi’i Maarif, surat itu ditulis Kartini setengah abad sebelum Salim memberi kuliah tentang selama enam bulan di Universitas Cornell, Amerika Serikat. Usia Salim ketika itu sudah mencapai 69 tahun. Salim lahir 8 Oktober 1884 dan wafat pada 4 November 1954.
Kuliah di Cornell University berlangsung antara Januari sampai dengan Juni 1959. Ada 31 topik perkuliahan yang diberikan, diawali kuliah tentang Rukun Iman dan Rukun Islam, diakhiri dengan pembahasan periode Nabi Muhammadi di Madinah (622-632M).
Selama hidupnya, karena ketekunannya Salim berhasil menguasai banyak bahasa asing, diantaranya: Arab, Belanda, Inggris, Turki, Prancis, Jepang dan Jerman. Karena kepintarannya, Salim akhirnya diangkat menjadi penerjemah Konsulat Belanda di Jeddah, Arab Saudi. Di Saudi, terutama di Mekkah, ia mendalami ilmu agama dengan pamannya Syekh Ahmad Khatib, yang saat itu juga menjadi imam di Masjidil Haram.
Salim pernah kerja di birokrasi pemerintah Belanda, tapi beberapa saat kemudian ia keluar. Ia juga pernah kembali ke kampungnya mendirikan sekolah di sana, selama lebih kurang tiga tahun. Tapi ia tidak betah di kampung dan akhirnya kembali ke kota di Jawa. Oleh komisaris besar polisi pemerintahan Belanda, Salim diutus untuk memata-matai gerakan Sarekat Islam dan Tjokroaminoto. Bukannya menyelidiki, malah ia akhirnya berteman akrab dengan Tjokro dan bergabung ke SI.
Setelah itu Salim terjun ke dunia jurnalistik (1915). Di Harian Neratja ia menjabat sebagai redaktur. Ia kemudian berpindah dan menjadi pemimpin redaksi di harian Hindia Baroe di Jakarta. Ia juga pernah mendirikan surat kabar Fadjar Asia.
Salim makin menonjol ketika menjadi salah satu pengurus besar Sarekat Islam. Ia sering diidentikkan dengan Tjokroaminoto, sebagai dwitunggal dalam pergerakan SI.
Selanjutnya Salim pernah menjadi anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang merancang UUD 1945. Bahkan ia termasuk anggota Panitia Sembilan yang menyusun Mukaddimah UUD 1945 bersama: Soekarno, Moh Hatta, Achmad Soebardjo, Moh Yamin, KH Wahid Hasyim, Abdul Kahar Muzakir, Abikoesno Tjokrosoejoso, dan AA Maramis.
Setelah proklamasi kemerdekaan RI, Salim diangkat menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung. Kemudian ia dipercaya menjadi Menteri Luar Negeri dalam Kabinet Syahrir dan Menteri Luar Negeri dalam Kabinet Hatta.
Kecerdasan dan kepiawaiannya dalam diplomasi, menjadi Indonesia diakui kemerdekannya oleh negara-negara luar. Pada 1947, setelah pertemuannya dengan pemimpin Ikhwanul Muslimin, Hasan al Banna, akhirnya Mesir tercatat sebagai negara pertama yang mengakui kemerdekaan RI.