H. Agus Salim: Diplomat Indonesia Terbaik
Salim yang fasih berbahasa Arab dan Inggris ini, adalah orang yang paling memahami Islam di Sarekat Islam. Deliar Noer mengutip Dr M Amin seorang ahli jiwa mengatakan bahwa Salim adalah seorang yang jenius.
Tokoh besar ini juga mempunyai kepribadian yang menarik. Tawaran-tawaran kerja dari pihak Belanda yang memungkinkan ia hidup dalam serba kecukupan, ditolaknya. Ia lebih memilih hidup sederhana dan kadang-kadang memikul beban berat karena banyaknya orang, terutama pemuda-pemuda yang melindungkan diri kepadanya sebagai anak didiknya. Hamka menyebut Salim memilih kehidupan seorang sufi.
Kepercayaan dirinya sangat tinggi. Sehingga ia tidak mengirimkan anak-anaknya ke sekolah, tapi mengasuhnya sendiri di rumah. Sehingga anak-anaknya secara resmi tidak ada yang bersekolah tinggi.
Ia seorang pembicara yang lihai, yang bisa memainkan perasaan dan tingkah laku pendengarnya. Hadirin akan bergantung pada bibirnya, bila ia berpidato.
Salim juga seorang pendidik yang handal. Mohammad Natsir, Mohamad Roem, Kasman Singodimedjo –tokoh-tokoh Masyumi ini adalah anak didiknya. Roem dalam bukunya, “Bunga Ramai dari Sejarah” menceritakan dengan piawai bagaimana ia dengan Kasman sering mendatangi rumah Agus Salim untuk belajar kepadanya.
Berikut cerita Roem:
“Pada suatu hari di tahun 1925 Kasman dan Soeparno mengajak penulis ikut pergi ke rumah Haji A Salim di Gang Tanah Tinggi. Kasman dan Soeparno pelajar Stovia kelas II, bagian persiapan, sedang penulis pelajar kelas satu. Pada permulaan tahun itu Samsuridjal mendirikan Jong Islamieten Bond, dan Haji A Salim menjadi penasihatnya. Kasman dan Soeparno, anggauta Pengurus Cabang Jakarta, ingin tahu bila Haji A Salim mulai memberi kursus agama Islam.
Ajakan itu penulis sambut dengan gembira. Penulis sudah sering mendengar nama Haji A Salim dan dari apa yang penulis dengar ia adalah seorang pemimpin rakyat, seorang pemimpin Sarekat Islam terkenal pandai tentang agama Islam dan mahir dalam berbagai-bagai bahasa.
Jalan ke Tanah Tinggi dari Asrama Stovia di Gang Kwini memakan waktu kurang lebih 10 menit dengan sepeda. Sampai setasiun Senen jalannya sudah diaspal, seterusnya masih tanah dan banyak berlobang. Melalui jalan itu dengan sepeda seperti duduk di perahu di atas air yang berombak. Hari itu tidak hujan, sampai di rumah Haji A Salim kami melihat ia duduk di serambi.
Kami disambut dengan sikap ramah yang sangat menarik. Sesudah bersalaman ia mulai bicara yang ditujukan kepada Kasman, ”Hari ini Anda datang secara biasa. Kemaren peranan sepeda dan manusia terbalik.” Penulis tahu kemaren Kasman sudah datang sendiri. Kasman yang melihat bahwa Soeparno dan penulis tidak mengerti apa yang dikatakan Haji A Salim menjelaskan,”Kemarin saya datang dengan ditunggangi sepeda, tidak saya yang menunggang sepeda.”
Tanah di Jakarta tanah liat terutama di beberapa bagian. Kalau setengah basah tanah melekat di roda sepeda, sehingga sepeda tidak dapat berputar sama sekali. Kemarin Kasman di tengah jalan dikejar hujan dan mengalami nasib yang Haji A Salim ceritakan. Kasman menyambung, ”Dan kemarin saya katakan: jalan pemimpin bukan jalan yang mudah. Memimpin adalah menderita.” Kami bercakap-cakap dengan bahasa Belanda bahasa kami sehari-hari. Di Asrama Stovia kami hidup bersama dengan pelajar-pelajar dari seluruh daerah Hindia Belanda. Bahasa daerah dipakai juga kalau kita kebetulan dalam lingkungan orang dari satu suku bangsa.