SILATURAHIM

Hadiri Silaturahim Idulfitri DDII, Ketum Muhammadiyah: Kita Ada Irisan

Jakarta (SI Online)-Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Profesor Haedar Nashir, menghadiri Silaturahim Idulfitri 1445 H Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) di Aula Masjid Al Furqan, Jl Kramat Raya 45, Senen, Jakarta Pusat, pada Sabtu pagi, 27 April 2024.

Sebagai pembicara utama, Haedar menyampaikan pikiran-pikirannya mengenai dakwah Islam dan Ormas Islam di Indonesia. Terutama keterkaitan antara Muhammadiyah dengan DDII.

DDII didirikan oleh Allahyarham Mohammad Natsir yang merupakan Ketua Umum Partai Masyumi periode 1949-1958 dan Perdana Menteri RI pada 1950-1951.

Masyumi, kata Haedar, adalah wadah titik temu dan merajut kekuatan umat Islam di awal-awal negara Republik Indonesia berdiri. Termasuk di dalamnya para tokoh Muhammadiyah.

“Kita ada irisan, keterkaitan langsung dalam rumpun umat Islam. Lalu ada Masyumi yang merupakan ikhtiar menyatukan kekuatan politik umat Islam,” kata Haedar.

Sebagai informasi, banyak tokoh dan petinggi Muhammadiyah yang aktif sebagai pengurus atau pimpinan Partai Masyumi. Di antaranya Ki Bagus Hadikusumo, KH Abdul Kahar Muzakkir, KH Faqih Usman, Mr. Kasman Singodimedjo, Buya Hamka, dan H.A. Malik Ahmad.

“Kita ada banyak titik temu,” kata Haedar yang merupakan Guru Besar Ilmu Sosiologi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) itu.

Meski demikian, Haedar juga mengingatkan bahwa dinamika yang terjadi di internal Masyumi saat itu juga tidak semudah yang dibayangkan. Terutama saat beberapa elemen seperti NU dan PSII keluar.

“Perlu kita selami kenapa itu terjadi. Ke depan kita harus belajar dari sejarah,” kata dia.

Karena itu, Haedar mengajak untuk terus meningkatkan silaturahmi. “Silah itu mempertautkan, rahmi persaudaraan. Ada pula yang menyebut rahim, karena kita pernah satu rahim, keluar dari rahim yang sama,” jelasnya.

Haedar menegaskan, silaturahmi bukan hanya mepertautkan hubungan yang telah tersambung, tetapi juga mempertautkan hubungan yang terputus. Baik di lingkungan keluarga, masyarakat, antarbangsa, golongan umat, dan lainnya.

“Tapi nggak gampang. Karena mempertautkan yang terputus itu ada faktor psikososial. Ini yang tidak mudah,” jelasnya.

1 2Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button