SUARA PEMBACA

Hak Pendidikan di Masa Pandemi

Gagasannya cemerlang, penerapannya yang kurang. Sejak akhir Maret lalu, puluhan juta murid di Indonesia menerapkan pembelajaran jarak jauh atau daring demi mengurangi dampak pandemi COVID-19. Namun, riset terbaru dari Inovasi Untuk Anak Sekolah Indonesia (INOVASI) mendapati bahwa program tersebut tak diwujudkan dengan baik di lapangan (Asumsi.com, 12/5/20).

Dilansir dari Asumsi.com, Riset terbaru dari INOVASI terhadap 300 orang tua siswa sekolah dasar di 18 kabupaten dan kota di provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), Nusa Tenggara Barat (NTB), Kalimantan Utara (Kaltara), dan Jawa Timur mengonfirmasi ketimpangan tersebut. Sebelum ada putusan resmi Kemendikbud, 76% orang tua murid mengaku telah mulai menerapkan kebijakan belajar dari rumah sejak pekan ketiga (16-22) Maret. Namun, kenyataannya, hanya sekitar 28% anak yang sanggup belajar menggunakan media daring untuk belajar maupun menggunakan aplikasi belajar daring. Adapun 66% pelajar menggunakan buku dan lembar kerja siswa, dan 6% orang tua menyatakan tidak ada pembelajaran sama sekali selama siswa diminta belajar dari rumah (12/5/20).

Faktor geografis pun berpengaruh. Semakin jauh lokasi seorang murid dari “pusat pembangunan” di Jawa, semakin terkucil ia dari pembelajaran daring. Di Jawa Timur, 40% responden menyatakan anak mereka dapat mengakses pembelajaran daring. Angka ini merosot di NTB, di mana pembelajaran daring kurang dari 10%, dan menurun lagi di NTT (hanya 5%). Anak-anak yang memiliki akses pembelajaran daring umumnya memiliki orang tua yang bekerja sebagai karyawan pemerintah (39%) dan wiraswasta (26%), dan memiliki latar belakang minimal S1 (34%) dan SMA (43%). Padahal, mayoritas responden yang diminta melakukan pembelajaran daring bekerja sebagai petani (47%) dan berpendidikan SD (47%).

Artinya, akses pembelajaran daring tak hanya ditentukan lokasi, tetapi juga tingkat pendidikan, pekerjaan, dan status ekonomi orang tua. Semakin parah, hanya 9,71% rumah tangga responden yang memiliki akses internet berlangganan. Kalaupun mereka memiliki internet baik dari internet berlangganan atau ponsel pintar, belum tentu sinyalnya andal dan cepat. Dalam laporan koneksi 4G global pada Mei 2019, Open Signal menempatkan Indonesia di peringkat 73 dari 87 negara dengan kecepatan 6,9 Mbp/s. Kecepatan internet kita hanya sedikit di atas Thailand, Kamboja, dan Bangladesh, tapi kita masih kalah cepat dari Singapura, Myanmar, Vietnam, dan Filipina.

Pembangunan Infrastruktur vs Pendidikan Saat Pandemi

Mengapa hal ini bisa terjadi, padahal baru-baru ini Indonesia dinobatkan menjadi negara maju. Amerika Serikat (AS) mengeluarkan Indonesia dari daftar negara berkembang, Indonesia pun dinobatkan sebagai negara maju. Hal ini terlihat dalam perubahan dalam Undang-Undang Pemulihan Perdagangan (Trade Remedy Law). Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyatakan, pencabutan Indonesia dari status negara berkembang oleh Amerika Serikat (AS) bukan suatu masalah. Malahan, hal itu dinilainya membanggakan karena Indonesia bisa berada di status negara maju, meski dalam versi AS (Okezone.com, 29/2/20).

Sebelum dan saat pandemi, Indonesia sibuk membangun infrastruktur yang menghabiskan dana tidak sedikit. Dilansir oleh Kompas.com, “Penanganan Covid-19 tetap berjalan, pembangunan infrastruktur tidak kita lupakan,” tulis Jokowi di akun Facebook resminya, Selasa (7/7/2020) sore. Ada dua proyek jalan tol, yakni Tol Trans Sumatera serta Tol Cileunyi-Sumedang-Dawuan (Cisumdawu) (8/7/20). Selain itu, ada 89 usulan proyek strategis nasional (PSN) baru pada periode 2020-2024 yang menelan biaya Rp1.422 triliun dari Menteri Koordinator Perekonomian, Airlangga Hartarto kepada Jokowi.

Semula ada 245 proyek, hanya saja Jokowi meminta agar proyek baru harus punya daya ungkit besar terhadap pemulihan ekonomi setelah pandemi berakhir. Konsekuensinya, pengerjaan proyek mulai lelang hingga pembangunan terus berjalan meski pandemi. Di luar proyek kelistrikan, ada proyek usulan baru berupa pembangunan smelter atau tempat pemurnian hasil tambang di Pulau Sulawesi dan food estate di Provinsi Kalimantan Tengah.

Proyek smelter yang dikembangkan ada di Konawe, Morowali (Pulau Sulawesi) hingga Weda Bay (Pulau Maluku). Potensi penyerapan pekerja di smelter Morowali diklaim Airlangga Hartarto mencapai 40.000 orang, sedangkan di Konawe hingga 11.000 pekerja. Direktur Eksekutif Nasional (Eknas) Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Nur Hidayati menyebut, proyek baru yang akan digarap pada sisa pemerintahan Jokowi dinilai tak sensitif dengan kepentingan rakyat.

Pembiayaan proyek justru menghambur uang untuk kegiatan di luar penanganan pandemi dan dan tidak memedulikan wabah Corona. “Ini semua proyek polusi. Kita bukannya justru menyembuhkan, memulihkan warga dari Corona, menjaga keseimbangan ekologis. Ini justru semakin dirusak.” (Tirto.id, 30/5/20). Apakah pembangunan infrastruktur ini berkolerasi dengan kebutuhan rakyat saat pandemi terutama dalam hal pendidikan di pelosok-pelosok. Nadiem sendiri kaget jika distribusi listrik dan internet belum merata ke pelosok-pelosok. Sehingga mereka kesulitan mendapatkan akses dan fasilitas belajar selama pandemi.

Pendidikan Kebutuhan Rakyat

Beginilah pengelolaan dalam sistem kapitalisme, berbeda dengan sistem Islam. Dalam Islam, apapun yang dilakukan baik pembangunan infrastruktur atau apa saja semata-mata untuk memenuhi kebutuhan rakyat. Bagaimana caranya distribusi pemenuhan kebutuhan rakyat merata hingga pelosok, terlebih saat pandemi. Karena dalam Islam, pemimpin memiliki tanggung jawab untuk mengurus rakyatnya dan akan dimintai pertanggung jawaban di hadapan Allah nanti.

Sistem Ekonomi Islam berupaya menjamin tercapainya pemenuhan seluruh kebutuhan pokok (primer) setiap warga negara Islam (Muslim dan non-Muslim) secara menyeluruh. Barang-barang berupa pangan, sandang, dan papan (perumahan) adalah kebutuhan pokok (primer) manusia yang harus dipenuhi. Tidak seorang pun yang dapat melepaskan diri dari kebutuhan tersebut. (Lihat: QS al-Baqarah [2]: 233; QS at-Thalaq [65]: 6). Keamanan, kesehatan, dan pendidikan juga merupakan tiga kebutuhan jasa asasi dan harus dikecap oleh manusia dalam hidupnya.

Menyangkut kesehatan, tidak mungkin setiap manusia dapat menjalani berbagai aktivitas sehari-hari tanpa adanya kesehatan yang cukup untuk melaksanakannya. Artinya, kesehatan juga termasuk kebutuhan pokok yang bersifat kolektif dan setiap manusia harus dipenuhi. Demikian juga dengan pendidikan. Tidak mungkin manusia mampu mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan di dunia, apalagi di akhirat, kecuali dia memiliki ilmu pengetahuan yang diperlukan untuk mencapainya. Ilmu pengetahuan diperoleh melalui pendidikan.

Secara garis besar, strategi pemenuhan kebutuhan pokok dibedakan antara pemenuhan kebutuhan pokok berupa barang (pangan, sandang, papan) dan kebutuhan pokok berupa jasa (keamanan, kesehatan, pendidikan). Pemenuhan kebutuhan pokok berupa barang dijamin dengan mekanisme tidak langsung, yakni dengan jalan menciptakan kondisi dan sarana yang dapat menjamin terpenuhi kebutuhan tersebut. Sebaliknya, kebutuhan jasa pokok dipenuhi dengan mekanisme langsung, yakni pemenuhan langsung oleh negara. Allahu A’lam bisshawaab.

Sherly Agustina, M.Ag
(Pegiat Literasi dan Pemerhati Pendidikan)

Artikel Terkait

Back to top button