Hapus Saja Dewan Komisaris BUMN
Komisaris adalah pemborosan. Mereka tidak diperlukan oleh BUMN. Kewajiban mengadakan posisi komisaris sesuai UU No. 40 Tahun 2008 tentang Perseroan Terbatas (PT), perlu direvisi. Pasal 6 Bab I di UU ini harus diubah khusus untuk BUMN. Hapus saja jabatan komisaris. Kalau untuk PT swasta, terserah mereka saja.
Baca juga:
- BUMN Tersungkur Akibat Beban Penugasan dan Tata Kelola yang Jorok
- Komisaris Baru PT Telkom: Mantan Menteri, Politisi Hingga Relawan Jokowi
Fungsi pengawasan direksi BUMN yang ditugaskan kepada para komisaris, bisa dilakukan dengan cara yang lebih murah. Tidak dengan mendudukkan 7-9 orang komisaris yang menghabiskan miliaran rupiah per bulan. Padahal, Dewan Komisaris (Dekom) itu pun banyak yang tidak berfungsi. Peter F Gontha (Komisaris PT Garuda Indonesia) mengatakan bahwa Dekom di situ hanya aktif 5-6 jam dalam seminggu. Itu pun, saran mereka tidak diperlukan oleh direksi.
Hanya di Indonesia dikenal jabatan komisaris PT. Sejauh ini, tidak ditemukan pencarian Google tentang perusahaan swasta atau publik di negara-negara Barat yang menyebutkan keberadaan komisaris atau Dekom.
Di Inggris, pembentukan dan operasional perusahaan juga diatur dengan undang-undang (UU). Tetapi, UU tentang perusahaan yang disebut Companies Act 2006 (CA 2006, alias UU Perusahaan 2006), tidak mengenal jabatan komisaris.
CA 2006 tidak mewajibkan keberadaan Dekom sebagai pengawas perusahaan. Perusahaan publik atau pribadi hanya diwajibkan memiliki “board of directors” (dewan direktur). Bahkan bisa tanpa dewan direktur. Pasal 154, CA 2006, menyebutkan bahwa perusahaan pribadi hanya diharuskan mempunyai satu direktur; sedangkan perusahaan publik cukup memiliki dua direktur.
Namun demikian, supervisi terhadap jalannya perusahaan tetap ketat. CA 2006 memuat pasal-pasal yang menggiring direksi selalu transparan. Mereka wajib menyimpan semua rekam transaksi per hari dan harus siap setiap waktu diinspeksi oleh auditor independen.
Para auditor diawasi oleh Financial Reporting Council (FRC). Sekarang, FRC akan segera diubah menjadi “Audit, Reporting, and Governance Authority” (ARGA) dengan wewenang yang lebih luas gara-gara belum lama ini terjadi skandal yang melibatkan sejumlah auditor yang ‘main mata’ dengan direksi perusahaan.
Prosedur yang lebih-kurang sama berlaku di Amerika Serikat, Eropa, Australia, Jepang, dll. Intinya, sepak terjang BUMN bisa diawasi dengan ketat tanpa perlu Dewan Komisaris.
Indonesia pun bisa mencontoh Inggris. Biarkan BUMN diperiksa oleh auditor indepeden. Dan para auditor independen itu diawasi sangat ketat oleh lembaga independen pula seperti ARGA.
Alternatif lain, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) diperluas saja wewenangnya supaya bisa memeriksa BUMN. Bentuk “special branch” di BPK dengan auditor-auditor “Taliban” yang akan memborgol para direksi korup.
Jadi, segera hapus Dewak Komisaris BUMN. Stop sekarang juga buang-buang duit rakyat triliunan rupiah tiap tahun.[]
11 Juni 2021
Asyari Usman, Penulis wartawan senior.
sumber: facebook asyari usman