SUARA PEMBACA

Setelah Gitaris, Mantan Napi Jadi Komisaris; Krisis Integritas Melanda Pejabat Publik?

Sungguh, tak habis pikir dengan pejabat negeri ini. Setelah gitaris, kini mantan napi korupsi jadi komisaris. Nama Emir Moeis mendadak menghebohkan jagat maya, setelah kabar  pengangkatannya menjadi komisaris di salah satu satu anak usaha BUMN yakni PT Pupuk Iskandar Muda muncul ke publik.

Menolak lupa, Emir Moeis pernah terjerat kasus suap lelang proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di Tarahan, Lampung pada 2004. Dia divonis tiga tahun penjara dan denda Rp150 juta subsider tiga bulan penjara pada 2014, akibat terbukti menerima suap senilai US$357 ribu dari Konsorsium Alstom Power Inc, yang mendaftar menjadi salah satu peserta. Mirisnya, kini mantan napi korupsi ini dikabarkan telah resmi menjabat sebagai komisaris perusahaan sejak 18 Februari 2021 lalu. (tirto.id, 7/8/2021).

Pengangkatan Emir Moeis menjadi komisaris, jelas makin memperburuk wajah BUMN. Tidak hanya utang yang menggunung, dan tata kelola yang sengkarut. Kini, pengangkatan komisaris yang jauh dari kata kredibel dan berintegritas, menambah daftar panjang problematika BUMN yang seolah tak jadi persoalan.

Visi AKHLAK (Amanah, Kompeten, Harmonis, Loyal, Adaptif, dan Kolaboratif) yang digembar-gemborkan Menteri BUMN Erick Thohir pun seolah terlupakan begitu saja. Pak Menteri bahkan seolah menjilat ludahnya sendiri, sebab tidak konsisten dengan pernyataannya yang menginginkan BUMN berakhlak dan profesional. Nyatanya, keinginan itu hanya isapan jempol belaka. Terbukti dengan pengangkatan sederet nama komisaris yang jauh dari kata kredibel dan berintegritas.

Masuknya mantan napi korupsi di jajaran komisaris BUMN juga mengkhawatirkan publik. Sebab dapat menjadi pemakluman di masa depan, bahwa mantan napi korupsi  pun dapat menjadi pejabat publik. Padahal rekam jejak Emir Moeis sebagai mantan koruptor adalah bukti otentik adanya cacat integritas yang tak terbantahkan.

Mantan koruptor jadi komisaris juga membuktikan penguasa tidak serius dalam upaya pemberantasan korupsi. Bahkan muncul kekhawatiran lain, munculnya praktik impunitas terhadap kejahatan korupsi dan para pelakunya. Hukuman para koruptor yang katanya menimbulkan efek jera pun akan makin mandul, sebab mantan koruptor ternyata dapat menduduki jabatan publik.

Di sisi lain, apakah tuan penguasa tidak memiliki kewaspadaan? Memberikan jabatan strategis kepada mantan koruptor bukankah sama saja membuka peluang terjadinya korupsi yang lebih besar lagi di tubuh BUMN? Padahal menjadi rahasia publik, kasus korupsi di tubuh BUMN ibarat pusara yang tak berujung. Alhasil, pesimis rasanya mencabut akar korupsi di BUMN, jika pejabatnya saja memiliki kecacatan kredibilitas dan integritas.

Pengangkat Emir Moeis dalam jajaran komisaris BUMN patut diduga juga sarat kepentingan politik. Menolak lupa, Emir Moeis merupakan mantan Bendahara Umum PDI Perjuangan dan sempat menjabat sebagai anggota DPR selama tiga periode. (suara.com, 6/8/2021). Tak ayal lagi, ia merupakan salah satu orang dalam lingkaran oligarki tuan penguasa. Seolah menjadi rahasia publik, jabatan komisaris BUMN merupakan ajang bagi-bagi kue kekuasaan, bagi oligarki yang menyokong kekuasaan tuan penguasa.

Sebagai aset strategis, sepatutnya BUMN tidak dijadikan ajang berbagi kue kekuasaan. Sebab jika aset strategis ini dikelola dengan salah, berujung pada terlantarnya urusan kemaslahatan rakyat. Mulai dari urusan air, energi, infrastruktur, migas, listrik, pangan hingga kesehatan.

BUMN merupakan sektor vital sebagai sumber penghidupan rakyat, maka tata kelolanya pun harus dapat mendatangkan kemaslahatan. Untuk itu, penting mengelola BUMN secara benar, agar fungsi kemaslahatan ini terus berjalan. Sayangnya, BUMN hari ini dikelola dengan paradigma kapitalisme yang berorientasi untung-rugi. Alih-alih dikelola demi kemaslahatan rakyat, BUMN justru menjadi lahan bisnis korporasi dan ajang bagi-bagi kue kekuasaan.

Alhasil BUMN tidak hanya membutuhkan tata kelola yang benar, tetapi juga membutuhkan sistem kepemimpinan yang amanah dan berintegritas. Semua itu, semata-mata demi kemaslahatan rakyat, agar rakyat dapat hidup sejahtera. Sistem ini jelas bukan kapitalisme yang terbukti melahirkan pemimpin korup dan gagal total mengelola negara. Sistem ini tidak lain adalah Islam yang diterapkan secara komprehensif dalam seluruh aspek kehidupan.

Paradigma Islam memandang bahwa penguasa merupakan pengurus dan perisai bagi rakyatnya. Ia merupakan pelaksana syariah secara kafah, yang dengannya seluruh urusan rakyat diselesaikan secara solutif, termasuk kewajiban dalam memenuhi hajat hidup rakyatnya.

1 2Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button