OPINI

Hari HAM dalam Diam

Hari Hak Asasi Manusia (HAM) diperingati setiap 10 Desember 2019. Kegiatan ini dilakukan untuk mengingatkan bahwa manusia memiliki hak, kewajiban dan perlakuan yang sama. Akan tetapi pada dalam kehidupan nyata, HAM tidak bisa direalisasikan. Sebab dalam iklim sekularisme, seluruh kebijakan dan peraturan akan saling bertabrakan satu dengan lainnya.

Pada gilirannya akan sulit menjaga HAM. Ide Barat yang seolah indah, ternyata menjadi produk gagal. Rongsokan pemikiran yang dikemas apik, tak mampu menjawab seluruh persoalan manusia. Sebab sekularisme sendiri akan terus merongrong dengan produksi kemungkaran yang beraneka ragam. Maka tidak mungkin hak manusia terjaga di sana.

Wajar saja, sebab dalam sekularisme peran Allah ditiadakan. Manusia dianggap lebih berhak membuat aturan ketimbang Allah. Alhasil kerusakan terjadi di mana-mana, hak manusia diabaikan. Sesat pikir menjadikan proyek HAM sebagai jalan memenuhi hak manusia. Dalam sekularisme, negara tidak turun tangan memenuhi urusan rakyat.

Sebagaimana fakta yang muncul belakangan ini, adanya pelanggaran HAM semakin banyak. Beberapa kasus yang dijanjikan untuk dibongkar seperti kerusuhan Mei 1998, Tragedi Trisakti, Semanggi 1 dan 2, penghilangan paksa, Talangsari 1989, Tanjung Priok 1984, hingga Tragedi 65, ternyata hanya menjadi tumpukan bisu.

Periode pertama 2014-2019, nyaris tanpa prestasi. “Aktor penurunan indeks HAM ini bukan masyarakat sipil, seperti konflik horizontal, tetapi oleh pemerintah sendiri. Jadi problem HAM-nya bukan lagi soal konflik horizontal, tetapi konflik vertikal sebagaimana yang terjadi di Orde Baru,” kata Peneliti ILR Erwin Natosmal Oemar, Oktober lalu (Tirto.id, 10/12/2019).

Mengerikan jika rakyat mulai ragu terhadap pemimpinnya. Bukan hanya pelanggaran HAM yang tidak selesai, tapi malah bertambah, dari extra judicial killing, penghilangan paksa, kekerasan seksual, pembantaian, hingga tahanan politik (pesakitan politik), dan lainnya.

Bahkan tema Hari HAM tahun ini ‘Youth Standing Up for Human Rights’, menjadi kalimat satiris. Sebab kilas balik pada sejumlah demo mahasiwa dan anak-anak STM turun ke jalan, yang meninggalkan banyak luka, nyawa melayang, hingga berakhir di balik jeruji, serta nama-nama yang hingga kini masih tak tentu rimbanya.

Anak-anak bangsa yang peka terhadap nasib negeri, berjuang menegakkan keadilan, akan tetapi kemudian dibungkam suaranya. HAM hanya diam. Pelanggaran terhadap HAM, lagi-lagi menemui jalan buntu. Tahun ini, menjadi pengingat bahwa agenda penuntasan kasus pelanggaran HAM dalam Nawacita, dari sembilan janji utama belum terealisasi.

Pada akhirnya pemerintah yang tak berbuat apa-apa membuat publik pesimis dengan periode kedua. Hal ini membuktikan, bahwa selama pengelolaan negara dengan tidak dibekali takwa, maka selama itu pula kasus pelanggaran HAM tidak akan pernah usai. Ide HAM yang datangnya dari luar Islam, akhirnya tidak mampu direalisasikan dalam kehidupan nyata.

Berbeda dengan Islam, setiap rakyat dijamin haknya. Seluruh kebutuhan pokok atau primer baik itu pangan, sandang, dan papan akan dipenuhi oleh negara. Begitu pula dengan kebutuhan terhadap pendidikan, kesehatan, dan keamanan.

Negara juga memberi ruang untuk menyampaikan aspirasi melalui majelis umat, yaitu majelis yang beranggotakan orang-orang yang mewakili kaum muslim, tempat rujukan bagi Khalifah untuk berbagai urusan. Dalam Islam, suara rakyat didengar, kebutuhan mereka diperhatikan. Negara tidak berani lepas tangan, sebab Allah kelak akan meminta pertanggungjawaban kepemimpinan atas umat.

Oleh karena itu, tidak akan terjadi pelanggaran HAM dalam Islam. Pengelolaan urusan umat terjaga, tidak semena-mena seperti halnya yang terjadi pada pemerintahan ala sekularisme. Akidah Islam menjadi landasan pengurusan umat secara sistemik. Maka dipastikan, ide HAM pun tidak diperlukan dalam Islam. Sebab penerapan syariat secara kaffah, meniscayakan penjagaan hak manusia.

Lulu Nugroho
Muslimah Revowriter Cirebon

Artikel Terkait

Back to top button