Hizbut Tahrir, Ikhwanul Muslimin dan Insists (1)
Saya sendiri ingat pernah bertemu dengan Kiai Abdullah bin Nuh sekali. Waktu liburan SMA ke Bogor. Seingat saya, Kiai besar itu menasihati saya pentingnya petunjuk (hidayah).
Hubungan ustadz Abdurrahman dengan Kyai Abdullah bin Nuh sangat dekat. Bahkan saya dengar, yang mencarikan istri Ustadz Abdurrahman adalah Kiai terkenal ini.
Karena hubungan dekat saya dengan Ustadz Abdurrahman, maka saya mulai kenal beberapa ustadz yang dekat dengannya, seperti Ustadz Abbas Aula (alumni Universitas Madinah) dan Ustadz Mustafa Abdullah bin Nuh (alumni Universitas Yordan sekaligus putra dari KH Abdullah bin Nuh).
Saya pun akhirnya sering silaturahmi dengan para ustadz itu. Pernah suatu ketika mereka berkumpul di rumah Ustadz Abbas Aula dan saya yang masih muda ikut pertemuan itu. Mereka saat itu membahas tentang makna silaturahim dan saya yang masih muda ikut pertemuan itu.
Dengan Ustadz saya sering ke rumahnya. Selain mengaji kitab ‘Fikrul Islam’ dengan teman-teman, saya juga mendapat tugas dari Ustadz Abdurrahman untuk menulis transkrip terjemahan dari kitab Hizbut Tahrir. Cuma saya lupa kitab apa itu.
Yang jelas dengan ustadz itu saya senang gaya mengajarnya. Ustadz Abbas –saat ini pimpinan Ma’had Al-Qu’ran dan Sunnah di Bogor- itu kalau mengajar kalem, teliti dan pelan-pelan. Satu topik dalam kitab ‘Fikrul Islam’ misalnya, ia bahas dengan terjemahan terlebih dahulu baru syarahnya. Ia pun melengkapinya dengan dalil-dalil dalam Al-Qur’an dan Sunnah.
Dengan ustadz Abbas, saya sering berdiskusi masalah gerakan-gerakan Islam. Diantaranya gerakan Ikhwanul Muslimin di Saudi Arabia. Kadang saya bawa buku Sayid Qutb dan mendiskusikannya dengannya. Ustadz Abbas selalu terbuka, meski saya kadang datang mungkin nggak tahu waktu, di antaranya siang hari. Menurut ustadz Abbas, gerakan Ikhwanul Muslimin itu gerakannya lebih populis kalau HT waktu itu masih diam-diam.
Selain mengaji kitab Fikrul Islam, saya dengan teman-teman juga mengaji kitab Hadishus Shiyam, karya Taqiyuddin an Nabhani. Kitab Fikrul Islam dan Hadishus Shiyam, saat itu belum ada terjemahnnya. Jadi kita mengaji langsung dari bahasa Arabnya.
Karena saya tertarik dengan pembahasan kitab-kitab Hizbut Tahrir yang mencerahkan itu, maka hampir tiap hari saya buka kitab itu dan menelaahnya. Kebetulan saya dan teman-teman juga menjadi asisten dosen agama Islam di IPB. Maka saya semangat membacanya. Bahkan karena dorongan kuat untuk bisa membaca langsung dari kitab aslinya, saya waktu itu hampir tiap hari membuka kamus bahasa Arab untuk tahu artinya. Dan akhirnya saya bisa baca langsung dari kitab aslinya, meskipun harus kerja keras dengan bantuan kamus Arab-Indonesia karya Mahmud Yunus.
Dengan Ustadz Mustafa Abdullah bin Nuh, saya dengan teman-teman mengaji kitab Muqaddimah Dustur. Kita mengaji bakda Subuh sampai sekitar 06.30. Habis ngaji dari Ustadz Totok itu (panggilan Ustadz Mustafa) kita biasanya langsung pergi kuliah di kampus. Dengan Ustadz Mustafa saya juga mendapat tugas untuk transkrip kitab Hizbut Tahrir.
Seingat saya waktu itu Ustadz Mustafa menerjemahkan Mafahim Siyasi Hizbut Tahrir (pemikiran politik Hizbut Tahrir). Jadi ustadz Mustafa yang menerjemahkan saya yang mencatatnya dalam kertas. Dari catatan tangan itu kemudian saya pindah ke mesin ketik. Dan hasil terjemahan itu kemudian dibagikan ke teman-teman Hizbut Tahrir.