Hukum Poligami dan Nikah Siri
Bisakah kita menikah secara hukum bila calon suami kita telah menikah. Apa hukum Nikah Siri?.
Alenia, Surabaya
Jawaban:
Boleh hukumnya dalam syariat Islam bagi seorang wanita untuk menikah dengan lelaki yang telah menikah/beristri. Hal itu dikarenakan, menikah dengan seorang lelaki yang telah beristri bermakna lelaki tersebut hendak melakukan poligami, sementara poligami dihalalkan oleh Islam. Allah berfirman: “Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat”. (QS. An-Nisa: 3).
Perintah Allah untuk menikahi wanita manapun yang disenangi sebanyak dua,tiga dan empat adalah dalil jelas bahwa Allah mengizinkan lelaki menikah lebih dari satu, artinya Allah mengizinkan lelaki berpoligami.
Hanya saja, jumlah maksimal wanita yang boleh dinikahi adalah empat orang, karena ayat di atas membatasi jumlah wanita hanya sampai empat. Jika seorang lelaki menikahi wanita lebih dari empat, maka istri yang ke lima, keenam dan seterusnya itu pernikahannya tidak sah dan tidak bisa dihukumi sebagai istri yang syar’i.
Tidak ada syarat adil dalam poligami, dengan makna; suami hanya sah poligaminya jika sanggup adil kepada seluruh istri-istrinya termasuk dalam masalah kadar cinta dan intensitas berhubungan suami istri. Adil bukan syarat sah poligami, tetapi adil adalah hukum syara yang menjadi atsar (akibat/konsekuensi) dari akad pernikahan poligami yang wajib dilakukan jika seorang lelaki berpoligami. Perbedaan antara syarat dengan atsar adalah; syarat mempengaruhi keabsahan akad, sementara atsar adalah konsekuensi dari akad. Ijab-Qobul misalnya, adalah syarat sah akad, sementara kewajiban memberi nafkah, kewajiban berbuat adil bagi lelaki yang poligami, kewajiban membayar mahar, dan lain-lain adalah contoh atsar dari akad nikah. Jadi, tidak ada syarat adil bagi lelaki yang hendak berpoligami.
Adapun lanjutan ayat di atas yang berbunyi: “kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja.” (QS. An Nisa’: 3)
Maka ayat ini tidak bisa menjadi dalil bahwa adil adalah syarat sah poligami, tetapi hanya menunjukkan anjuran menikah dengan satu istri jika khawatir tidak bisa berbuat adil.
Adil yang menjadi kewajiban lelaki berpoligami bukanlah keadilan mutlak yang meliputi segala hal, karena hal ini mustahil dilakukan. Keadilan yang dituntut adalah keadilan yang ada dalam batas kemanusiaan, misalnya dalam hal nafkah, waktu bermalam, ajakan keluar rumah, dan lain-lain. Adapun kadar cinta dan intensitas berhubungan suami istri, maka hal ini diluar kemampuan manusia, karena itu tidak ada tuntutan berbuat adil pada dua hal ini.
Dalam berpoligami juga tidak disyaratkan izin istri yang telah ada, karena tidak ada dalil yang menunjukkan hal tersebut. Poligami Rasulullah Saw juga menunjukkan bahwa pernikahan-pernikahan beliau tanpa meminta izin istri sebelumnya, bahkan hanya sekedar bermusyawarah atau meminta pertimbangan.
Demikianlah ketentuan poligami dalam syariat Islam. Dengan mengaca pada sejarah dan biografi Rasulullah Saw dan para Sahabatnya, tampaklah bahwa poligami dimasa Beliau bukan sesuatu yang aneh atau dianggap aib. Rasulullah Saw sendiri telah berpoligami. Abu Bakar As Shidiq, Umar bin Khaththab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib juga berpoligami. Bukan hanya mereka, shahabat-shahabat yang dijamin masuk surga yang lain juga dikenal berpoligami. Poligami tidak bertentangan dengan ketakwaan, hidup zuhud, tugas dakwah dan semisalnya asalkan dilaksanakan dengan niat yang benar dan cara yang syar’i, bukan semata-mata pemuasan syahwat hewani.
Adapun Nikah Siri/Nikah di bawah tangan, maka pernikahan ini juga sah secara syar’i asalkan memenuhi Syarat dan Rukun Nikah. Hal itu dikarenakan pengertian Nikah Siri adalah pernikahan yang tidak dicatatkan ke KUA (Kantor Urusan agama) saja. Jadi, Nikah Siri adalah pernikahan yang sah secara agama, tetapi tidak tercatat oleh negara. Kelemahan Nikah Siri dari segi tata hukum di Indonesia hanya terletak pada tidak diperolehnya hak-hak hukum seperti pewarisan, nafkah, pengasuhan anak, dll jika persoalan rumah tangga diajukan ke pengadilan di Indonesia.
Namun, apabila yang dimaksud Nikah Siri adalah pernikahan tanpa Wali, padahal Wali masih ada dan hak perwaliannya tidak gugur, maka pernikahan Siri seperti itu fasid (rusak) dan harus diulang. Kedudukannya sama dengan orang yang menikah tanpa saksi, atau menikahi wanita dalam masa Iddah. Wallahu a’lam.