Ibn Rusyd Tidak Liberal
Dalam magnum opus-nya Bidayah al-Mujtahid, Ibn Rusyd memilih mengikuti pandangan jumhur ‘ulama yang berpendapat bahwa shalat Jumat hanya wajib pada laki-laki. Untuk mendukung pandangannya, Ibn Rusyd menyetir salah sebuah riwayat dari Rasulullah Saw (lihat Bidayah al-Mujtahid, bab Shalat Jum’ah)
Terkait dengan imamah al-mar’ah dalam shalat, Ibn Rusyd menjelaskan beberapa pandangan ulama. Imam Syafi’i, misalnya, membenarkan perempuan menjadi imam jika makmumnya perempuan, meskipun Imam Malik tidak membenarkan hal tersebut. Mungkin, atas dasar itu Ibn Rusyd memilih untuk berpegang pada pendapat jumhur yang tidak membolehkan perempuan menjadi imam bagi laki-laki.
Menurutnya andaikan praktik ini diperbolehkan tentulah ada riwayat yang menyebutkan tentang praktik tersebut pada zaman Rasul. Akan tetapi riwayat itu tidak ditemukan. Ibn Rusyd juga menjelaskan bahwa praktik yang umum berlaku adalah perempuan berdiri di belakang laki-laki sebagai makmum dalam shalat. Dan hadith Rasulullah juga menyebutkan “akhkhiruhunna hatsu akhkharahunnallah” (Posisikanlah mereka dibelakang sebagaimana Allah telah memposisikan mereka di sana). Dari keterangan ini Ibn Rusyd lalu menyimpulkan bahwa perempuan tidak dibenarkan berada di depan laki-laki. (lihat Bidayah al-Mujtahid, bab Imamah al-mar’ah)
Jadi, terlalu keliru meletakkan Ibn Rusyd dalam posisi ulama atau pemikir liberal. (*)
Dr. Nirwan Syafrin, Dosen At-Taqwa College Depok.