NUIM HIDAYAT

Ibu Amien Rais yang Perkasa (2)

Amien Rais nampaknya mewarisi karakter ibunya, Sudalmiyah. Lincah, mandiri dan berkepribadian kuat.

Simak cerita Amien dalam autobiografinya, ”Saya sering ikut ibu saya mendatangi pengajian-pengajian yang agak jauh dari kota Solo. Salah satu yang saya ingat adalah ketika saya diajak ibu saya mendatangi pengajian Aisiyah di daerah Bekonang. Waktu itu perjalanan dari Kota Solo ke Bekonang bukanlah perjalanan yang gampang. Kami harus naik andong atau dokar sampai ke Kampung Sewu. Dari Kampung Sewu kami harus menyeberangi Bengawan Solo sampai ke sisi sebelah timur. Belum cukup itu, kami harus berjalan kaki tiga sampai empat kilometer, bila tidak ditemukan andong pada malam hari. Bisa dibayangkan ibu saya dengan disertai kedua anaknya yang masih muda-muda, ditambah panitia pengajian itu menyusuri jalanan yang sepi dari Bengawan Solo sampai ke tempat pengajian, yang jaraknya kadang-kadang cukup jauh, sekitar lima sampai enam kilometer. Apalagi setelah pulang, suasana semakin sepi, tidak berpapasan apa-apa kecuali setelah sampai di Bengawan Solo. Perjalanan pulang kemudian dilanjutkan dengan naik perahu dengan menyeberangi ke sisi sebelah barat.”

Mantan Ketua Umum Muhammadiyah ini menyatakan, ia kagum pada ibunya karena konsistensi dan keistiqamahannya dalam berorganisasi. Ibunya menyatakan, ”Amien, organisasi itu dari kata organ. Organ itu sesuatu yang hidup, sesuatu yang bergerak, sesuatu yang berjalan ke depan. Kalau kita berorganisasi kemudian kita melempem dan bermalas-malasan, itu artinya kita tidak sedang berorganisasi. Kita sedang berlibur atau kita sedang beristirahat.”

Baca juga: Amien Rais

Ibunya juga mengajarkan agar anaknya senantiasa berani melakukan amar makruf nahi mungkar. Dengan bahasa sederhana yang mudah dicerna anak-anak, ibunya meyakinkan bahwa kedua sayap dakwah, yakni amar makruf nahi mungkar harus terbang bersama-sama.

“Saya juga masih ingat pesan ibu saya bahwa jika kita hanya amar makruf dan tidak bernahi mungkar, maka seluruh kemakrufan yang mulai dibangun akan dibabat habis oleh kemungkaran yang tidak pernah dipukul balik.”

Kesan lain yang sangat mendalam dari ibunya, adalah keikhlasan, kesederhanaan dan ketulusan perjuangannya. Ibunya memimpin Aisiyah Surakarta lebih kurang 20 tahun.

“Rumah kami betul-betul terbuka kapan saja untuk tamu-tamu Muhammadiyah dan Aisiyah. Saya perhatikan bahwa ibu saya itu menaruh perhatian besar kepada orang-orang Aisiyah yang tergolong duafa atau mungkin lemah ekonomi. Ibu saya bergaul dengan baik terhadap lapisan kelas menengahnya, tetapi ibu saya lebih menghabiskan waktu untuk bergaul dengan mereka yang ada di lapisan bawah. Karena itu, tidak heran ketika ibu saya wafat pada tahun 1999, hampir tiga perempat yang melayat itu adalah dari kalangan kaum duafa. Jadi kampung saya ketika itu dipadati para pelayat dan mayoritas pelayat almarhumah yang datang adalah kaum duafa.”

Amien mengakui bahwa ibunya lebih berpengaruh dalam mendidiknya daripada ayahnya. Ayahnya seorang mubaligh Muhammadiyah yang sering bepergian. Ayahnya juga pernah bekerja di Semarang selama beberapa tahun, sehingga ia bertujuh dengan ibunya hanya bertemu dengan ayahnya hanya Sabtu siang atau Ahad saja.

Selain ibunya yang sering menasihatinya, kakeknya juga turut mendidiknya. Suatu saat ia dan kakeknya melewati dua kuburan yang di sana terhadap pohon-pohon besar. Kakeknya mengatakan, ”Amien coba kamu lihat pohon yang besar itu. Tiap malam Jumat pohon itu didatangi sebagian orang-orang desa. Mereka membakar kemenyan dan lain-lain untuk meminta selamat dan sebagainya.”

Kakeknya menyatakan bahwa itu tindakan musyrik yang jauh dari tauhid dan betul-betul melanggar keimanan seorang Muslim. Bahkan kakeknya mengatakan bahwa ia pernah menebang sebuah pohon yang sangat besar yang mungkin sudah berusia satu abad. Waktu itu terjadi huru hara yang luas, karena orang desa mengatakan bahwa kakeknya pasti akan segera kesambet atau kuwalat atau kemudian akan jatuh sakit bahkan bisa meninggal dunia. Tetapi dengan bismillah, kakeknya meminta dua tukang tebang kayu untuk menebang sampai usai dan tidak terjadi apa-apa. Karena itu banyak yang menganggap kakeknya sakti karena berani menebang kayu yang dianggap keramat oleh keluarga desa itu. []

Nuim Hidayat, Dosen Akademi Dakwah Indonesia, Depok.

Artikel Terkait

Back to top button