In Memoriam Ustadz Abdul Qadir Djaelani
***
Selamat Jalan Abah AQDj
Oleh: Hanibal W Y Wijayanta
Inna lillahi wa inna ilaihi raajiuun… Telah meninggal dunia KH Abdul Qodir Jaelani pada hari ini, 23 Februari 2021, pukul 10.00 WIB. Beliau seorang mujahid, pejuang Islam yang menghabiskan seluruh usianya untuk kemulyaan Islam. Mohon doa agar Allah mengampuni segala dosanya dan menerima amal ibadahnya.
Kabar duka itu datang pagi tadi, dari grup WhatsApp wartawan muslim yang saya ikuti. Inna lillahi wa inna ilaihi raajiuun… Saya langsung tercenung. Baru kemarin saya mendapat kabar bahwa Abah Abdul Qodir Djaelani sakit dari seorang sahabat di Grup Alumni LDK. Saat itu saya sempat rasan-rasan dengan isteri untuk menengok Abah AQDj –begitu saya biasa memanggilnya— di Leuwiliang, Bogor.
Delapan tahun yang lalu, saya pernah datang ke rumah Abah AQDj. Saat itu saya mewawancarai dia untuk bahan Thesis Magister saya, tentang pemikiran Ketua Umum Masyumi terakhir, Pak Prawoto Mangkusasmito. Untuk merekonstruksi pemikiran Pak Prawoto, selain mewawancarai putri Pak Prawoto, Ibu Sri Sjamsiar, saya mewawancarai beberapa kader Pak Prawoto, seperti Almarhum H Ismael Hassan, Almarhum KH Cholil Badawi, Almarhum AM Fatwa, Almarhum H Zainal Abidin, Almarhum H Ramlan Mardjoned, H Ridwan Saidi, dan juga Abah AQDj.
Saat bertemu dengan Abah AQDj di Leuwiliang itu saya agak kaget dan juga terharu. Sebab, lelaki itu sudah tampak sepuh dengan pendengaran yang mulai kurang. “Kalau ngomong sama Bapak, sekarang harus dekat dan agak keras. Udah agak nggak denger,” kata Umi AQDj waktu itu, ketika saya terpaksa mengulang-ulang pertanyaan karena jawaban Abah AQDj agak melenceng dari pertanyaan yang saya maksud.
Maka, dari pada keliru menjawab, wawancara akhirnya berlangsung dengan volume suara yang agak keras. Baik pertanyaan saya, maupun jawaban Abah AQDj. Padahal dulu, dalam beberapa ceramahnya setelah dibebaskan dari tahanan Orde Baru, juga ketika saya sering ikut mendengarkan rapat Keluarga Besar Masyumi di rumah Wakil Ketua DPA KH Cholil Badawi di Kemang, serta ketika saya mewawancarainya ketika ia menjadi anggota DPR dari Partai Bulan Bintang, Abah AQDj sangat tangkas berbicara. Maklumlah, ia adalah aktifis Islam pada masanya.
Berikut kutipan tesis saya dari hasil wawancara saya dengan Abah AQDj…
+++
Abdul Qadir Djaelani anak bungsu dari delapan bersaudara. Guru sekolahnya di Sekolah Rakyat (SR) Pejaten mencatat tanggal 20 Oktober 1938 sebagai tanggal kelahirannya, sebagai anak yatim dari keluarga rakyat jelata, hidup di zaman Jepang sangatlah sulit. Untuk mendapatkan sesuap nasi, ibu, kakak-kakaknya serta Abdul Qadir Djaelani kecil, harus pergi ke Rengasdengklok, Karawang, Jawa Barat untuk derep, menjadi kuli menuai padi.
Abdul Qadir Djaelani mulai sekolah di SR Pejaten, Pasar Minggu tahun 1947 – 1948, sambil belajar di Madrasah Diniyah 6 tahun di sore hari, mengaji di rumah guru Madrasah Diniyah di malam harinya, dan tidur di Mushalla. Tahun 1953, saat berumur 15 tahun, ia tamat Sekolah Rakyat 6 tahun dan Madrasah Diniyah 6 tahun dan melanjutkan ke Sekolah Pendidikan Guru Agama Pertama Negeri 4 tahun.
Menjelang Pemilu 1955, suhu politik semakin meningkat, terutama di Ibukota Jakarta. Abdul Qadir Djaelani yang baru kelas dua PGAPN kemudian masuk ke Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII), organisasi pemuda onderbouw Partai Masyumi. Sejak saat itu pula kesadaran politiknya tumbuh pesat. Partai Masyumi terkenal dengan misi: terlaksananya Syari’at Islam bagi diri pribadi, keluarga, masyarakat dan negara, serta anti komunis. Abdul Qodir Djaelani mengakui, doktrin ini akhirnya menjadi pandangan hidupnya.
Pada saat itu Abdul Qadir Djaelani terpilih menjadi ketua ranting GPII Pasar Minggu, dan aktif dalam kegiatan kampanye Partai Masyumi di Kecamatan Pasar Minggu. Pada Pemilu 1955, ia terpilih menjadi Ketua Tempat Pemungutan Suara di desa Kalibata, Pasar Minggu. Karena didukung rakyat, Partai Masyumi pun unggul di Kecamatan Pasar Minggu.