SUARA PEMBACA

Indonesia Di-lockdown Dunia, Apa yang Salah?

Belum juga lockdown, Indonesia terlebih dulu di-lockdown 59 negara. Diberitakan tempo.co, 8/9, sedikitnya 59 negara melarang warga Indonesia masuk ke negaranya. Hal ini berkaitan dengan tingginya angka kasus positif Covid-19 di Tanah Air. Tercatat per Rabu, 9/9, kasus Covid-19 terkonfirmasi berjumlah 203.342 orang. (wikipedia.org, 9/9/2020).

Selain di-lockdown dunia, jauh hari Indonesia juga menjadi perhatian CDC (Center for Diseases Control and Prevention), sebuah lembaga kesehatan di Amerika Serikat, yang mengurusi penyakit dan wabah menular. CDC merilis peringatan untuk menghindari perjalanan tidak penting ke Indonesia. Selain berisiko Covid-19 tinggi, Indonesia juga memiliki sumber daya yang terbatas. (cdc.gov, 6/8/2020).

Lonjakan kasus Covid-19 dan di-lockdown-nya Indonesia oleh dunia, ternyata membuat Presiden Jokowi siuman. Menurut presiden, penanganan di sektor kesehatan menjadi kunci agar perekonomian negara bisa kembali pulih. Hal itu disampaikan saat membuka Sidang Kabinet Paripurna untuk Penanganan Kesehatan dan Pemulihan Ekonomi Tahun 2021. (cnnindonesia.com, 9/9/2020).

Menolak lupa, alih-alih cepat dan tegas dalam menghadapi pandemik. Kebijakan plin-plan pemerintah selama pandemik justru berorientasi ekomonis. Mulai dari diterapkannya new normal demi investasi, hingga kebijakan penyelematan ekonomi yang diskriminatif, salah sasaran dan tidak menyentuh akar persoalan. Padahal memfokuskan penanganan pandemik hanya pada sektor ekonomi jelas berbahaya dan berdampak panjang.

Arogansi penguasa pun kian tampak kala mengurusi para nakes. Sikap abai dan kurang peduli kental sekali. Mulai dari lambatnya penyediaan alkes berupa APD hingga penerapan new normal, yang mengakibatkan lonjakkan masif kasus positif. Alhasil, para nakes berjibaku dengan taruhan nyawa menghadapi membludaknya pasien Covid-19 di bangsal-bangsal rumah sakit. Tidak heran jika tidak sedikit nakes yang syahid kala melawan Covid.

Hingga hari ini, data Amnesty International Indonesia menyebutkan 181 tenaga kesehatan meninggal hingga awal September, dengan rincian 112 dokter dan 69 perawat. Bukan jumlah yang sedikit mengingat perbandingan jumlah dokter dan pasien di Indonesia 1:1.000, yang mana satu dokter untuk melayani seribu rakyat Indonesia. (tirto.id, 10/9/2000). Kehilangan 112 dokter sama saja hilang pula penjagaan dan perawatan terhadap 112.000 rakyat Indonesia. Hal ini jelas yang menjadi masalah baru di tengah wabah ganas Corona.

Lonjakkan kasus Covid-19 kian sadis. Indonesia kian “ditakuti”. Sedangkan rakyat kian ketar-ketir. Tercekik ekonomi dalam pusaran badai pandemik. Ironisnya, bukan hanya kehilangan kepercayaan rakyat, Indonesia pun kehilangan kepercayaan dunia. Lonjakkan drastis kasus Covid-19 semakin menampakkan kegagalan pemerintah menghadapi pandemik.

Negara demokrasi yang dibangga-banggakan. Jargon dari rakyat, untuk rakyat, oleh rakyat yang dijunjung tinggi. Kini, nyatanya tidak berdaya dihembas dahsyatnya gelombang wabah. Penguasa yang katanya wakil rakyat semakin tampak tidak peduli dengan nasib rakyat. Sebaliknya semakin terlihat membela kepentingan para tuan-tuan kapitalis.

Kebijakan yang diharapkan sebagai solusi, nyatanya hanya kebijakan plin-plan yang berbonus derita rakyat dan lonjakkan angka. Mirisnya, dengan dalih ketidakpatuhan masyarakat menerapkan protokol kesehatan, lagi-lagi penguasa menyalahkan rakyatnya. Padahal dalih hanyalah alasan untuk menutupi borok penguasa.

Sama halnya dengan berbagai pernyataan yang menyesatkan rakyat selama pandemik. Mulai dari pernyataan Corona mati di cuaca panas Indonesia, jamu obat Corona, kalung Corona, hingga yang terbaru tentang framing jahat khilafah dan radikalisme yang menyasar Islam dan umatnya. Sejatinya adalah mantra-mantra sesat guna menutupi borok penguasa ala demokrasi.

Jelas, penguasa dalam naungan demokrasi apalagi otokrasi-oligarki, tidak akan mampu menghadapi dan menuntaskan pandemik. Di saat resesi dan pandemik menghantam dunia, kebutuhan akan sistem Islam dalam naungan khilafah sejatinya tidak dapat ditampik lagi. Meskipun para durjana terus mengingkari dan menghalangi.

Adalah sebuah keniscayaan bahwa kebutuhan umat terhadap Islam dalam bingkai khilafah tidak terbendung lagi. Bukan hanya sebagai solusi solutif segala problematika dunia hari ini. Namun juga sebagai konsekuensi keimanan bagi seorang Mukmin dan janji Allah Swt yang Maha Benar dan Maha Menepati Janji.

“Allah telah menjanjikan kepada orang-orang beriman dan beramal salih di antara kalian, bahwa Dia sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa; akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah Dia ridhai (Islam); dan akan mengubah (keadaan) mereka, setelah berada dalam ketakutan, menjadi aman sentosa.”(TQS an-Nur [24]: 55).

Wallahu’alam bishshawwab.

Jannatu Naflah
Aktivis Dakwah Muslimah dan Pegiat Literasi Islam

Artikel Terkait

Back to top button