Inilah Prestasi Demokrasi
Tujuh juta warga secara sukarela menjaga agar pemungutan suara berjalan lancar pada Rabu (17/4) lalu, di lebih dari 800 ribu tempat pemungutan suara. Surat suara dibagikan ke daerah pinggiran melalui pesawat, kano, dan gajah. Para relawan TPS yang meninggal telah dijuluki secara lokal sebagai “martir demokrasi.”
Kembali demokrasi unjuk gigi, atas prestasinya yang mengerikan. Sepanjang sejarah, di seluruh lini kehidupan umat, terbukti ia mematikan. Daya hancurnya tidak bisa diabaikan. Dari tempat lahirnya, Plato dan Aristoteles mengklaim bahwa sistem ini memang sudah cacat sejak lahir. Alih-alih melindungi manusia, sistem rusak ini justru menghabisi manusia itu sendiri
Demokrasi tampak seperti akidah global, semua orang mengenalnya. Akan tetapi ia tidak memiliki batasan yang jelas. Bisa ditarik ke sana ke mari sesuai kepentingan pengembannya. Keabsurdan inilah yang membuat demokrasi tidak memiliki patokan standart bagi aktivitas manusia. Wajar sebab sistem ini buatan manusia. Peluang untuk salah dan menimbulkan kerusakan, sangat besar.
Yang lebih dramatis adalah, penyelenggara pemilu yang tidak menghargai suara rakyatnya. Sudahlah golongan putih (golput), diancam melakukan aktivitas haram, karena tidak mau memilih. Begitu rakyat patuh ikut pemilu, suaranya malah digembosi. Pencurangan masif, terstruktur, sistemik dan brutal justru akan membangkitkan kesadaran rakyat, bahwa kekuasaan mereka mau dirampok.
Jika begitu, bagaimana lagi ia mengukur pengaturan umat dalam sebuah negara. Sayangnya sebagian besar umat belum menyadari hal ini. Mereka masih terpikat dan rela berjuang di jalannya. Sebagaimana disampaikan al-Allamah Abdul Qadim, bahwa demokrasi adalah kepanjangan tangan kapital untuk melanggengkan kekuasaan di dunia Islam.
Lalu mengapa umat masih mempertahankan sistem rusak ini. Sementara jelas ia tidak memiliki kemampuan mengurusi rakyat. John Adams mengingatkan bahwa demokrasi tidak akan berumur panjang. Begitupun pengembannya. Selama mereka percaya bahwa demokrasi adalah solusi permasalahan umat, selama itu pula umat akan berputar-putar dalam masalah.
Inilah yang membuat demokrasi selamanya tidak mampu berprestasi. Sistem bebas nilai selalu akan menimbulkan petaka. Sekalipun dikatakan bahwa kekuasaan ada di tangan rakyat, sejatinya rakyat hanya alat. Jalan untuk meraih kekuasaan kaum kapitalis. Dalam demokrasi, kekuasaan lebih mahal dibanding nyawa manusia. Padahal dalam Islam, nyawa manusia lebih berharga dari pada ka’bah.
Berbagai teori agar tidak terjadi kematian akibat pemilu. Di antaranya menghindari pemilu serentak, kembali ke demokrasi tidak langsung, hingga memberi santunan dan pengobatan bagi petugas pemilu. Solusi ini belum mengakar. Sesungguhnya hanya satu solusi mendasar yang dibutuhkan umat, yaitu membuang jauh sistem yang rusak ini.
Sejatinya khairu ummah sudah memiliki sistem kehidupan yang sahih. Hanya saja mereka tidak mengambil itu. Malah percaya pada demokrasi, buatan manusia. Ketika umat dipaksakan mengadopsi sistem kufur, maka umat akan hancur. Pemikiran mereka merosot drastis. Dan mereka mengalami kegoncangan berpikir. Jika masih dipertahankan, selamanya umat tidak akan bangkit, dan meraih posisinya sebagai umat terbaik sebagaimana diseru Allah dalam Alquran.
Lulu Nugroho
Muslimah Revowriter Cirebon