Islam tidak Mengenal Pajak
Di dalam negara yang menerapkan sistem perekonomian kapitalis, pajak merupakan pos pendapatan utama. Sistem ekonomi kapitalis mengajarkan kepada kita kezhaliman yang tiada duanya. Pemerintah pusat dan pemerintah daerah berlomba-lomba menarik pajak dari rakyatnya. Rakyat seperti sapi perahan.
Ada pajak penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPn), Bea Materai, Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Cukai, Bea Masuk, Pajak ekspor, Pajak Kendaraan Bermotor, pajak reklame, retribusi, dan sebagainya. Nyaris semua bidang usaha dan segala aktivitas dikenakan pajak, sampai-sampai orang yang mau pergi haji pun ongkos membayar hajinya dipajaki.
Selain itu, pajak mengakibatkan ekonomi biaya tinggi, harga barang meningkat karena di dalam mata rantai proses produksi setiap tahapannya dikenakan pajak. Pajak adalah kezhaliman yang dibungkus dengan peraturan sehingga negara merasa berhak untuk mengambil harta yang sebenarnya bukan menjadi miliknya. Tidak mengherankan jika banyak orang menghindari pajak.
Islam telah melarang seluruh bentuk pungutan –apapun nama dan alasannya-. Pungutan yang diambil oleh negara dari rakyatnya harus memiliki landasan atau legislasi syar’i. Allah SWT berfirman:
“Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lainnya di antara kamu dengan jalan yang bathil.” (TQS. Al-Baqarah [2]: 188)
Pungutan yang tidak ada dasar hukum Islamnya disebut dengan ghulul (kecurangan). Tindakan ghulul diharamkan berdasarkan firman Allah Swt:
“Barangsiapa berbuat ghulul (curang terhadap harta) maka pada hari kiamat ia akan datang membawa (harta) yang dicuranginya itu.” (TQS. Ali Imran [3]: 161)
Rasulullah saw memasukkan para pemungut pajak sebagai shahib al-maks, yaitu harta (pungutan/retribusi) yang diambil secara tidak syar’i. Pelakunya diganjar dengan siksaan yang pedih dan kehinaan.
“Tidak akan masuk surga orang-orang yang memungut maks (yakni harta pungutan/retirbusi yang tidak syar’i).”
Di dalam sistem perekonomian Islam, pungutan pajak seperti dalam sistem ekonomi kapitalis dan yang berlaku seperti saat ini tidak pernah ada. Islam tidak mengenal pajak, yang ada adalah dlaribah. Dlaribah adalah harta yang diwajibkan Allah SWT kepada kaum Muslim untuk membiayai berbagai kebutuhan dan pos-pos pengeluaran yang memang diwajibkan atas mereka, pada saat kondisi di Baitul Mal tidak ada harta/uang.
Jadi, dlaribah itu adalah pos pendapatan yang diperoleh dari kaum Muslim untuk pembiayaan-pembiayaan yang bertujuan untuk melayani kepentingan dan kemaslahatan masyarakat banyak, sementara di dalam Baitul Mal tidak ada harta. Artinya, pemasukan yang diperoleh dari harta-harta milik umum (kaum Muslim) yang dikelola oleh negara sudah habis, begitu juga yang menjadi pos-pos pendapatan negara (seperti ghanimah, fai’, kharaj, jizyah, dan sebagainya) sedang tidak ada (karena habis digunakan atau mengalami defisit), sementara ada tuntutan untuk pembiayaan. Termasuk deposit harta zakat dan sejenisnya, juga kosong. Pada kondisi seperti inilah negara Khilafah bisa memungut dlaribah. Artinya negara hanya memungut dharibah dalam kondisi darurat saja.
Hanya saja besarnya pungutan dlaribah, tempo/waktu pungutan, dan penggunaannya diatur oleh syariat Islam. Dlaribah hanya boleh dilakukan pada saat kas negara (Baitul Mal) kosong, dan di saat yang sama terdapat kebutuhan untuk pembiayaan. Dlaribah hanya ditujukan bagi orang-orang (rakyat) yang mampu; tidak diwajibkan atas rakyat yang tidak mampu. Dlaribah bisa dilakukan berkali-kali dalam satu tahun, selama terdapat kebutuhan pembiayaan.
Dlaribah bisa juga tidak pernah diterapkan selama puluhan atau bahkan ratusan tahun, karena negara Khilafah memiliki anggaran dari pos-pos pendapatan negara secara berlimpah. Dlaribah ditetapkan hanya sebatas kebutuhan pembiayaan untuk saat itu ketika kas negara kosong, jadi tidak digunakan sebagai stand by capital (dana cadangan untuk berjaga-jaga jika kas negara kosong).
Berdasarkan pemaparan singkat di atas, fungsi dan kedudukan dlaribah di dalam sistem ekonomi Islam adalah sebagai palang pintu terakhir yang menjaga keberlangsungan kehidupan masyarakat dan utuhnya negara. Bukan sebagai ujung tombak perekonomian, sebagaimana yang terjadi di negara-negara yang menjalankan sistem ekonomi kapitalis.
Dengan demikian, negara yang menerapkan sistem ekonomi Islam tidak akan memberlakukan pungutan seperti pajak –yang selama ini dikenal-, apalagi jika Baitul Mal penuh dengan harta, hasil dari dijalankannya hukum-hukum Islam tentang jihad, pengelolan harta milik umum (kaum Muslim) maupun zakat. Sebab, pungutan yang tidak syar’i adalah kecurangan (ghulul), dan pajak adalah tindakan zhalim. Negara Islam tidak berdiri di atas kezhaliman dan ditopang oleh kesengsaran warga negaranya. Wallahu a’lam bishshawaab.