#Lawan IslamofobiaSUARA PEMBACA

Islamofobia di Dunia Pendidikan, Upaya Menjegal Sinar Kebangkitan Umat

Radikalisme dalam konteks terorisme saat ini tengah digadang-gadang terinfiltrasi dalam berbagai aspek, termasuk di dunia pendidikan. Perumpamaan “Gebyah Uyah” dalam bahasa jawa yang artinya mengeneralisir semua hal atas “waspada radikalisme”, saat ini tengah menyoroti sekolah yang dituding sebagai tempat berkembangnya cikal bakal terorisme.

Sebagaimana dilansir oleh mediaindonesia.com, Ketua Umum Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) Musdah Mulia mengungkapkan, saat ini sekolah di Indonesia tidak berperan sebagai penjaga anak-anak dari radikalisme. Sekolah justru kerap menjadi lokasi berkembangnya paham tersebut. Sementara itu, Shinta Nuriah Wahid bersama dengan puluhan aktivis Gerakan Warga Lawan Terorisme mengatakan sudah saatnya pemerintah menyegerakan reformasi di bidang pendidikan. Hal itu untuk mengatasi perkembangan paham intoleran dan radikal yang demikian pesat. Pernyataan senada diungkapkan oleh Al Chaidar, pengamat terorisme, dalam republika.com, yang menyarankan pemerintah harus membuat program pencegahan dalam bentuk pendidikan kepada anak-anak sekolah. Program tersebut menurutnya bisa mencegah masuknya paham-paham radikalisme pada anak-anak.

Tidak hanya menerpa sekolah formal, bahkan homeschooling pun menjadi bahasan yang dikaitkan dengan cikal bakal radikalisme. Kasus bom bunuh diri yang melibatkan anak-anak didalamnya, diklaim bahwa mereka adalah korban indoktrinasi orang tuanya dimana sehari-harinya anak-anaknya dikatakan belajar mandiri (homeschooling). Rilis dalam CNNIndonesia.com, Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Masyarakat Kemendikbud Harris Iskandar tak menampik homeschooling tunggal mungkin menjadi sarana baru bagi orang tua mengajarkan radikalisme pada anak. “Kami sendiri masih tergagap-gagap. Terus terang, komunikasi orang tua terhadap anak, siapa yang bisa mengawasi? Instrumen apa? Kami nggak tahu bagaimana menjawab itu,” kata Harris kepada CNNIndonesia.com, Jumat (18/5).

Isu Radikalisme yang terus diembuskan semakin menunjukkan bahwa tengah terjadi Islamophobia tingkat akut. Pemahaman radikalisme yang dimaksudkan sedang terus berkembang diantaranya adalah konsep jihad dalam islam serta sistem pemerintahan dalam Islam. Kekhawatiran atas semakin banyaknya umat muslim yang ingin menjalankan syariat dalam agamanya telah menimbulkan Islamophobia bagi banyak kalangan. Islamophobia sendiri didefinisikan oleh Wikipedia sebagai prasangka dan dikriminasi pada Islam dan muslim.

Sebenarnya mengapa Islamophobia ini terus diopinikan? Hal ini tidak lepas dari proyek Global War on Terrorism (GWOT) yang digagas oleh Amerika Serikat. Bukti bocornya dokumen dari Wikileaks seharusnya cukup menjadi bukti bahwa isu terorisme sengaja diangkat sebagai pembenaran kejahatan AS atas dunia Islam. Alih-alih menghindar, pemerintah Indonesia malahan terus meningkatkan kerja sama berantas terorisme dengan pemerintah Amerika. Kerja sama ini dibahas dalam pertemuan bilateral menhan Ryamizard Ryacudu dengan Menhan AS James Mattis di Kementrian Pertahanan di Jakarta, sebagaimana dilansir beritasatu.com.

Sesungguhnya mengapa islamophobia kian marak? Benarkah jihad yang dimaksud Rasulullah saw., sebagai puncak amal seorang muslim, adalah dengan meneror kaum non muslim? Dalam QS Al Maidah : 32 disampaikan bahwa barangsiapa menghilangkan nyawa seorang manusia yang tidak bersalah maka seakan-akan dia menghilangkan nyawa manusia seluruhnya. Kaum muslim dilarang keras untuk meneteskan darah baik muslim maupun non-muslim yang tidak menyerangnya, dan perbuatan tersebut tergolong sebagai dosa besar. Bahkan di masa kejayaan islam, islam terbukti melindungi warga negaranya yang baik muslim maupun non-muslim, tanpa ada perbedaan. Kaum non-muslim sama-sama berhak mendapatkan pendidikan gratis, pengobatan gratis, perlidungan terhadap jiwa dan harta serta sama haknya di mata hukum.

Peristiwa penaklukkan kembali Baitul Maqdis ke tangan kaum muslimin pun diakui oleh banyak pihak sebagai ketinggian akhlak kaum muslimin dimana seluruh penduduk yang menyerah diampuni dan dipersilakan untuk tinggal dan beribadah sesuai keyakinannya, tanpa dipersekusi sama sekali. Hal ini bertolak belakang dengan perebutan Baitul Maqdis dari kaum muslimin yang dipenuhi dengan kekejaman dan pengusiran kaum muslimin. Film The Kingdom of Heaven yang telah sering diputar di layar kaca adalah salah satu contoh nyata yang diakui oleh banyak sejarawan mengenai ketinggian ajaran Islam yang direfleksikan oleh Shalahuddin al Ayubi saat masuk ke Baitul Maqdis. Sehingga jelas-jelas kasus bom bunuh diri yang terjadi akhir-akhir ini sesungguhnya sangat bertentangan dengan Islam.

Islamophobia yang diangkat akhir-akhir ini di kalangan akademisi, sesungguhnya adalah respon terhadap semakin berkembangnya pemahaman kaum muslim yang semakin rindu untuk senantiasa terikat dengan hukum Islam. Dari URI.co.id, diberitakan mengenai hasil survei yang dilakukan atas pengurus Unit Kegiatan Sekolah Kerohanian Islam atau Rohis di beberapa SMA Negeri favorit di Jawa Tengah dan DIY, menyatakan bahwa rangking tertinggi tokoh-tokoh idola para pelajar adalah Habib Rizieq dan Bachtiar Nasir. Hasil survei yang dipaparkan dalam Seminar Hasil Penelitian Agama di Laras Asri Hotel Salatiga ini cukup mengejutkan kalangan akademisi, yang menyimpulkan bahwa pemahaman dan sikap keagamaan siswa SMA Negeri di Jawa Tengah telah terinfiltrasi dengan radikalisme.

Dr Aji Sofanudin, MSi Peneliti Muda pada Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Semarang (Kemenag RI) atas hasil survei tersebut menyatakan beberapa siswa SMA Negeri setuju untuk mengubah dasar negara Pancasila, memilih pemimpin semata-mata berdasarkan kesamaan agama, serta pemisahan siswa laki-laki dan perempuan dalam acara keagamaan. Di kesempatan lain, Prof. Musdah Mulia menyampaikan hasil survei yang dilakukan Wahid Foundation pada 2016, setidaknya 60% dari 1.626 responden aktivis Rohani Islam (Rohis) setuju untuk berjihad ke wilayah konflik saat ini. Bahkan, 68% juga setuju untuk berjihad di masa mendatang.

Isu radikalisasi yang diembuskan terus-menerus sejatinyanya adalah upaya global membungkam umat yang mulai bergeliat untuk kembali kepada syariat islam yang kaffah. Umat dari kalangan akademisi, mahasiswa bahkan pelajar SMP dan SMA semakin hari semakin bergejolak dan mulai bangkit pemikirannya melihat ketimpangan ekonomi dan jauhnya negeri ini dari syariat Islam. Sekolah dan lembaga pendidikan lainnya seharusnya steril dan tidak dibatasi ruang gerak intelektualitasnya dalam mencari kebenaran hakiki. Ruang diskusi seharusnya dikedepankan, bukannya praduga dan justifikasi sepihak. Publik telah mulai cerdas membaca fakta sehingga jika saja forum debat dilakukan secara adil dan tidak memihak, maka akan terang terlihat akar permasalahan dari keterpurukan umat muslim saat ini.

Maka pergolakan ini, semakin ditahan, dengan UU Antiterorisme, UU Ormas dan berbagai metodenya, justru akan semakin meningkatkan perlawanan dan pembelaan dari umat yang hanif. Umat semakin paham bahwa akar dari segala masalah yang menimpa kaum muslimin adalah akibat dari perilaku sekulerisme yang memisahkan aturan Islam dari aturan kehidupan.

Kembali bangkitnya Islam adalah janji Allah yang pasti, tinggal menunggu waktu, sebagaimana terjemah QS An Nur : 55 yang artinya “sungguh Allah akan menjadikan mereka (orang-orang yang beriman) berkuasa di bumi sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa”. Dan ingatlah pula tantangan Allah kepada kaum yang menghalangi tegaknya kemuliaan Islam di dalam QS Al Anfal: 30. Allah Swt. berfirman “bahwa sesungguhnya mereka memikirkan tipudaya dan Allah menggagalkan tipu daya itu. Sesungguhnya Allah sebaik-baik pembalas tipu daya”. Wallahu ‘alam

Dona Sulistia Kusuma, M.Si
Penyelenggara pendidikan, Ketua Yayasan Pendidik Generasi Khoiru Ummah

Artikel Terkait

Back to top button