Islamofobia Merajalela
Sebaliknya, seperti Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang anti-NKRI, menolak merah putih, ingin memisahkan diri dari NKRI, tidak pernah disebut sebagai radikalis apalagi teroris. Meski mereka angkat senjata dan terus membunuh TNI/Polri, tidak ada media yang menulis gerombolan separatis itu sebagai pemberontak. Bendera kejora dikibarkan dibiarkan, sementara bendera tauhid yang menyatukan umat Islam malah dibakar dan dianggap sebagai bendera teroris.
Pelaksanaan kehidupan beragama yang dijamin oleh konstitusi juga mengalami stigmatisasi. Remaja SMP/SMA yang tergabung dalam Kerohanian Islam (Rohis) dan para mahasiswa yang tergabung dalam Lembaga Dakwah Kampus (LDK) dengan kegiatan-kegiatan positif untuk membuat mereka saleh dicurigai sebagai benih radikalisme. Lagu ‘Tepuk Anak Soleh’ yang dinyanyikan anak-anak TK dicap sebagai intoleran, kelompok artis yang telah bertaubat dengan berhijrah lalu membentuk kelompok pengajian dituduh eksklusif. Sementara artis-artis lain yang terpapar pergaulan bebas dan narkoba dibiarkan saja.
Belum selesai. Para ustaz, kiai, habaib, penceramah, dan mubaligh yang suaranya kritis terhadap penguasa dan berbeda paham dengan kelompok tertentu dipersekusi. Lembaga-lembaga kemanusiaan yang selama ini berkiprah membantu masyarakat korban bencana baik dalam maupun luar negeri dituduh pula sebagai bagian dari kelompok radikal. Terbaru, bahkan spanduk di stasiun Kereta yang mengingatkan agar para penumpang mengutamakan keselamatan dan shalat pun tak luput dari protes kaum liberal.
Radikalisme pula yang pada kampanye Pilpres 2019 menjadi komoditas untuk menyerang paslon 02. Dimana-mana dibunyikan bila Prabowo-Sandi didukung kaum radikalis untuk menakut-nakuti massa. Bahkan sampai ditebar fitnah Prabowo akan menegakkan khilafah hanya karena pasangan ini mendapatkan dukungan luas dari kalangan Islam modern.
Bermula Sejak Orde Lama
Bersamaan dengan kampanye radikalisme ini, muncul gerakan nativisasi. Upaya untuk menghidupkan kembali kebudayaan lama. Di saat kesadaran perempuan muslimah mengenakan kerudung dan jilbab untuk menutupi aurat, muncul kampanye mengenakan busana daerah yang lebih buka-bukaan. Padahal sejatinya banyak juga wilayah di Indonesia ini yang akar budayanya adalah Islam dan menutup aurat.
Pendiri Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia (DDII) yang juga mantan Perdana Menteri Allahyarham Mohammad Natsir menyebut ketakutan-ketakutan terhadap Islam atau umat Islam itu sebagai Islamofobia. Kata Pak Natsir, gejala Islamofobia di negeri ini telah muncul sejak Orde Lama. Sebabnya, pertama karena kurang mengerti Islam. Kedua, sengaja untuk mengucilkan Islam.
Pak Natsir bicara tentang Islamofobia ini sekitar tahun 1986-1987, saat secara bergantian diwawancarai lima anak muda saat itu; Amien Rais, Yahya Muhaimin, Kuntowijoyo, Ahmad Watik Pratiknya, dan Endang Saefuddin Anshari. Rangkuman hasil wawancara itu dibukukan dengan judul “Pesan Perjuangan Seorang Bapak: Percakapan antar-Generasi.”
Pak Natsir bercerital. Pada zaman Orde Lama, Bung Karno pernah mengatakan agar kita tidak terkena Komunistofobia, sebagai upaya mengintroduksi Komunisme ke dalam masyarakat, tetapi bersamaan dengan itu ia menumbuhkan Islamofobia. “Memang fobia itu dapat dengan sengaja ditumbuhkan oleh pihak terntentu yang tidak menyukai Islam,” kata Pak Natsir.
Dua faktor penyebab Islamofobia itulah yang kemudian menjadikan umat Islam saat itu dituduh sebagai ekstrem kanan atau ekstrem-ekstrem yang lain. “Organisasi yang masih mewarnai dirinya dengan Islam, dituduh “anasional” dan bahkan tidak setia pada Pancasila, sehingga perlu dikucilkan.” Dalam bahasa sekarang, organisasi yang demikian disebut ‘transnasional’. Padahal, kata Pak Natsir, hal itu lebih merupakan bentuk opini dari pada fakta.
Pancasila, lanjut Pak Natsir, dipandang dalam keadaan bahaya jika masih ada orang yang memakai ciri lain di samping Pancasila. Pandangan seperti ini digambarkan dan dihidup-hidupkan dalam masyarakat dengan begitu sistematis.