Jahiliyah di Makkah dan Tanah Jawa, Samakah?
Jahiliyah di Makkah
Meskipun Makkah berkembang sebagai pusat perdagangan internasional berkat lokasinya yang strategis di antara Suriah dan Yaman, saat itu, ekonomi kota ini tidak lepas dari praktik riba dan monopoli elit yang menindas kaum miskin. Ketimpangan sosial juga terlihat dari tradisi seperti mengubur anak perempuan hidup-hidup karena dianggap aib.
Dalam kajian Nurhamim, juga dijelaskan sistem politik pada masa itu didominasi oleh struktur suku yang bersaing demi kekuasaan, di mana kepemimpinan oligarki sering memonopoli kekayaan dan kekuasaan.
Nurhamim juga mencatat bahwa sistem kepercayaan polytheisme memiliki pengaruh besar terhadap kehidupan masyarakat, termasuk dalam budaya dan hukum yang diterapkan. Praktik-praktik ini menunjukkan bahwa masa jahiliyah bukan hanya sebuah fase sejarah, tetapi juga simbol keterasingan dari nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan. (Nurhamim, Tsaqofah; Jurnal Agama dan Budaya 14, no. 2 (1961): 93–117).
Selaras dengan itu, masa jahiliyah yang dikenal sebagai era kegelapan moral, juga tercantum dari Al-Qur’an. Di mana hukum dipermainkan (QS. Al-Maidah: 50), perempuan dieksploitasi secara budaya (QS. Al-Ahzab: 33), masyarakat bersikap arogan (QS. Al-Fath: 26), dan keyakinan mereka lemah (QS. Ali Imran: 154). Dalam situasi penuh penyimpangan ini, Rasulullah Muhammad Saw diutus untuk membawa perubahan besar.
Melalui dakwah yang bijaksana dan penuh hikmah, Nabi Saw menanamkan nilai tauhid, persamaan hak, dan keadilan sosial, hingga mampu mentransformasi masyarakat menuju kehidupan yang lebih manusiawi dan beradab.
Seperti yang sudah kita ketahui bahwa Rasulullah Saw menggunakan berbagai strategi dan pendekatan dakwah yang relevan dengan kondisi masyarakat Arab saat itu.
Pertama, beliau memulai dakwah secara personal dan rahasia, yaitu menyampaikan ajaran Islam kepada orang-orang terdekatnya untuk menghindari konflik langsung dengan masyarakat Quraisy yang masih kuat mempertahankan tradisi jahiliyah.
Kedua, dakwah Rasulullah menekankan pada tauhid, dengan tujuan utama menghapus penyembahan berhala dan menggantinya dengan pengesaan Allah sebagai landasan kehidupan.
Ketiga, Rasulullah membangun diplomasi dan aliansi dengan berbagai suku melalui perjanjian, seperti Piagam Madinah, untuk menciptakan tatanan masyarakat yang damai dan adil.
Keempat, beliau menjadikan keteladanan moral sebagai kekuatan utama dakwahnya, di mana akhlak mulia Rasulullah menjadi daya tarik besar bagi banyak orang untuk memeluk Islam, dan lain sebagainya.
Dengan demikian, Rasulullah tidak hanya menghapuskan kebiasaan buruk dan sistem yang tidak adil, tetapi juga membangun fondasi masyarakat yang berlandaskan akhlak mulia dan nilai-nilai kemanusiaan yang universal. Transformasi ini menjadi salah satu bukti kehebatan dakwah Islam dalam menjawab tantangan zaman dan membawa peradaban menuju puncak kemuliaan.