KISAH TELADAN

Jihad Nusaibah di Perang Uhud

Ummu Imarah Nusaibah membela Rasulullah di medan perang Uhud hingga mengalami tiga belas luka.

Tidak ada perempuan yang ikut dalam memerangi orang-orang musyrik pada perang Uhud kecuali Ummu Imarah Nusaibah Al-Maziniyyah.

Dhamrah bin Sa’id bercerita tentang neneknya yang telah ikut serta pada perang Uhud dengan tugas memberi minum para tentara yang kehausan. Nusaibah berkata, “Aku mendengar Rasulullah berkata, ”Kedudukan Nusaibah binti Ka’ab hari ini lebih mulia dari pada si fulan dan fulan.” Rasulullah melihat Nusaibah berperang saat itu dengan sangat tangguh. Ia mengikat pakaiannya pada bagian tengah tubuhnya, bahkan ia mengalami tiga belas luka. Ketika ia wafat, saya (Dhamrah) termasuk orang yang memandikannya. Saya menghitung lukanya satu per satu, aku dapati ada tiga belas luka. Nusaibah pernah mengatakan, “Aku melihat Ibnu Qam’ah.” Ibnu Qam’ah memukul tengkuk Nusaibah, dan itu adalah lukanya yang paling parah, yang membuatnya harus mengobatinya selama setahun.

Kemudian penyeru perang berseru agar pasukan menuju Hamra’ Al-Asad, maka Nusaibah mengikat lukanya dengan kain, namun ia tetap tidak mampu menahan aliran darah dari lukanya. Semalam suntuk kami mengobati pasukan yang terluka hingga pagi. Ketika Rasulullah kembali dari Hamra’ Al-Asad. Sebelum Rasulullah sampai ke rumahnya beliau mengutus Abdullah bin Ka’ab Al-Mazini, -saudara laki-laki Ummu Imarah (Nusaibah)- menanyakan kondisinya. Kemudian Abdullah kembali memberi tahu kondisi Nusaibah dan Rasulullah sangat senang dengan berita itu.”

Al-Ustaz Husain Al-Bakiri mengomentari peran serta Nusaibah binti Ka’ab dalam perang, ia berkata, “Kepergian perempuan untuk berperang bersama laki-laki, tidak ada riwayat yang sahih tentang itu kecuali riwayat Nusaibah. Kepergian Nusaibah ikut berperang bersifat darurat, karena Rasulullah dalam bahaya ketika pasukan yang ada disekelilingnya banyak yang terbunuh, maka Ummu Imarah (Nusaibah) yang sedang membawa senjata wajib untuk berperang, karena bagi setiap orang yang membawa sejata wajib berperang baik laki-laki maupun perempuan.”

Dr Akram Dhiya’ Al-Umari dalam kitabnya As-Sirah An-Nabawiyah Ash-Sahihah memberi komentar terhadap beberapa atsar yang menunjukan peran serta perempuan dalam perang Uhud, ”Atsar-atsar ini menunjukan boleh hukumnya mengambil manfaat dari perempuan pada kondisi darurat, untuk mengobati korban yang luka dan membantu  pasukan yang memerlukan bantuan, jika aman dari fitnah dan para perempuan tersebut tetap menutup aurat dan menjaga diri. Para perempuan juga wajib membela diri mereka dengan perang jika mereka terancam, meskipun jihad itu diwajibkan bagi laki-laki, kecuali jika pasukan musuh sudah memasuki negeri Islam, maka semua wajib berperang melawan musuh, bagi laki-laki maupun perempuan.”

Sementara Al-Ustaz Muhammad Ahmad Basyamil dalam Ghazwah Uhud mengatakan perang Uhud adalah perang pertama yang di dalamnya perempuan ikut serta berperang melawan orang-orang musyrik. Menurutnya berdasarkan riwayat yang sahih hanya ada satu perempuan saja yang ikut serta dalam perang tersebut, ia membela Rasulullah. Juga menurut riwayat yang sahih bahwa perempuan ikut serta dalam perang Uhud, mereka ikut serta bukan untuk berperang dan mereka tidak dipersenjatai layaknya laki-laki. Akan tetapi mereka ikut perang serta untuk melihat apa yang dilakukan oleh pasukan musuh agar mereka dapat memberi bantuan terhadap kaum muslimin, seperti membantu korban yang terluka dengan air dan lainnya. Di samping itu bahwa perempuan yang ikut serta dalam perang Uhud tersebut adalah para perempuan yang telah melewati usia muda dan semua mereka pergi berperang bersama para suami mereka dan anak-anak mereka yang merupakan pasukan perang. Mereka juga memiliki akhlak dan juga pendidikan agama yang baik, tidak bisa dibandingakan dengan para tentara perempuan saat ini yang memakai pakaian tentara, terdapat unsur godaan dan fitnah. Itulah unsur yang membedakan mereka dengan laki-laki.

Al-Ustaz Basyamil melanjutkan, demikian juga para laki-laki pada masa itu tidak bisa dibandingkan dengan para pasukan laki-laki saat ini, jika dilihat dari semangat perjuangan, keistikamahan, menjaga diri dan keberanian mereka. Para sahabat yang ikut serta dalam perang Uhud adalah manusia pilihan di antara umat ini, mereka adalah simbul kemuliaan dan semangat juang, lambang kekuatan dan keistikamahan. Maka tidak sah menjadikan keikutsertaan para sahabat perempuan dalam perang Uhud dijadikan sebagai kaedah yang kemudian dijadikan sebagai dasar qiyas (analogi) jika dilihat dari perspektif syariat Islam, untuk menerapkan wajib militer bagi perempuan pada zaman ini; perempuan berperang bersama dengan laki-laki (sebagai salah satu unsur utama dari beberapa unsur ketentaraan). Qiyas dalam kondisi seperti ini adalah qiyas ma’a al-fariq (analogi kontradiksi), dengan demikian maka qiyas tersebut adalah qiyas batil secara mutlak.

Shodiq Ramadhan (disadur dari kitab Sirah Nabawiyah, Prof Dr Ali Ash Shalabi).

Artikel Terkait

Back to top button