SIRAH NABAWIYAH

Perang Opini di Masa antara Perang Badar dan Uhud

Perang Badar Al-Kubra dalam Islam, dianggap sebagai perang golongan yang haq (Islam) melawan golongan yang batil (kafir). Perang yang terjadi pada bulan Ramadhan tahun kedua Hijriyah (H) ini merupakan perang besar pertama dalam sejarah Islam, sekaligus salah satu fragmen terpenting dalam diskursus sirah Nabawiyah. Hari meletusnya perang Badar disebut juga yaum al-furqan, dimana 315 mujahidin Islam harus bertempur melawan seribu lebih pasukan musyriq Quraisy. Pertempuran ini juga menjadi simbol benturan peradaban antara Madinah versus Makkah, yang baru berakhir tahun delapan H, ditandai dengan peristiwa Fathul Makkah.

Kaum Muslimin menang total dalam peperangan yang banyak menewaskan para pembesar Quraisy tersebut. Sebaliknya musyrik Quraisy kalah telak seraya dipermalukan meskipun jumlah serdadunya sekitar tiga kali lipat jumlah mujahidin Islam. Walaupun kecamuk Perang Badar Al-Kubra tidak sampai sehari penuh, namun perang urat-syaraf dan opini terjadi sepanjang tahun sampai pecah perang Uhud bulan Syawal tahun 3 H.

Dalam sirah Nabawiyah kadang benturan opini dan urat-syaraf, lebih berat serta melelahkan dibandingkan perang fisik. Perang opini dan urat-syaraf pasti sangat menguras energi. Dalam tulisan ini, kita tidak akan membahas secara keseluruhan perang opini dan urat-syaraf antara kaum Muslimin dengan Quraisy, melainkan hanya pada angkara murka Quraisy yang kita anggap sebagai “tanda” (sign), karena kita akan meninjaunya dari pendekatan semiotika atau komunikasi-semiotis.

Semiotika sendiri merupakan bidang studi yang mempelajari tanda (sign) dan aspek pemaknaannya. Bagaimana proses pemaknaan itu dibuat dan mengapa pemaknaan itu sampai dimaknai dengan pengertian tertentu. Tanda yang dimaksud di sini tidak harus selalu tanda dalam bentuk wujud fisik (seperti tanda lalu lintas, simbol-simbol tertentu) melainkan bisa dalam wujud verbal dan lain sebagainya. Studi semiotika secara umum memang mempelajari tanda yang bermakna secara komunikatif. Meskipun semiotika-komunikasi banyak modelnya, yang dipakai di sini adalah semiotika-komunikasi secara general.

Kita akan menelisik tentang diskursus angkara murka Quraisy pasca Badar Al-Kubra. Secara sederhana hal ini berkenaan dengan dendam membuncah kaum Quraisy pasca kekalahan di perang Badar Al-Kubra.

Meskipun pasca kemenangan kaum Muslimin di Badar banyak musuh-musuh Islam di Makkah maupun Madinah sama-sama terkena shock, namun Quraisy-lah yang dilanda shock paling hebat. Kesan peristiwa Badar Al-Kubra sangat membekas di jiwa-jiwa musyrik Quraisy maupun kaum Yahudi di Madinah. Kaum munafik Madinah juga masuk dalam ‘barisan sakit hati’ terhadap kemenangan Islam, hal yang sama juga dialami kaum musyrik Arab yang tidak terlibat perang secara langsung namun bersekutu dengan Quraisy Makkah. Shock di sini bisa bermakna dua dimensi: (1) Sebuah “pesan” dari Quraisy (komunikator) ke kaum Muslimin (komunikan), sedangkan medianya adalah kabar dari mulut ke mulut serta sepak terjang Quraisy dalam peristiwa As-Sawiq, peristiwa di Bahran dan Qaradah. Dari situ dampak (efek)-nya demikian beragam, mulai dari konflik jalur dagang, morat-maritnya ekonomi Quraisy Makkah, meletusnya perang Uhud setahun kemudian dan lain sebagainya. Ranah komunikasi menurut Harold Lasswell dalam karyanya The Structure and Function of Communication in Society, memang mengharuskan adanya lima unsur tersebut, dari mulai komunikator, pesan, media komunikasi, komunikan, dan efeknya.

Dimensi lainnya (2), bisa kita anggap sebagai tahap awal pemaknaan kaum Muslimin terhadap reaksi Quraisy. Menurut Charles Sanders Peirce (1838-1914) filsuf sekaligus pionir ilmu semiotika, pemaknaan suatu tanda itu bertahap-tahap. Pertama ialah firstness (kepertamaan), yakni saat tanda dimaknai seperti apa adanya tanpa menunjuk ke sesuatu yang lain. Tahap selanjutnya (secondness) kekeduaan, yakni jika tanda sudah dimaknai oleh individu dan thirdness (keketigaan), jika tanda sudah dimaknai secara keseluruhan. Tahap pertama, reaksi awal Quraisy adalah dengan shock dan marah-marah. Bahkan tokoh seperti Abu Lahab yang tidak ikut perang Badar membawa shocknya sampai mati saat mengetahui kaumnya kalah memalukan oleh Madinah.

Faktor yang menyulut shock-nya kaum musyrik Quraisy bukan hanya sekedar kehilangan banyak jiwa figur pemimpin serta kerabat mereka, namun juga kerugian harta yang tidak sedikit. Sampai-sampai dendam yang membuncah di jiwa para pembesar Quraisy yang masih hidup tidak bisa dilampiaskan lantaran Quraisy kehabisan modal. Tokoh seperti Abu Sufyan sampai bernazar tidak akan menyentuh istrinya hingga dendamnya bisa terlampiaskan (Sirah Nabawiyah Ibnu Hisyam, jld II, bab Perang As-Sawiq). Lebih-lebih Hindun binti Utbah istri Abu Sufyan, yang ayah dan saudaranya mati di perang Badar, ia dipenuhi dendam yang menyala-nyala, terutama ke Hamzah bin Abdul Muthalib panglima perang kaum Muslimin di perang Badar. Maka “tanda” shock merupakan tanda yang paling wajar dan alami. Kaum Muslimin sendiri yakin bahwa dengan shock-nya, Quraisy mendapat pelajaran kalau kaum Muslimin kian hari kian menguat, sehingga bukan lagi pihak yang bisa seenaknya ditindas serta dizalimi oleh Quraisy, seperti sebelumnya di fase Makkah.

Sudah kalah perang, rugi korban jiwa, mentalitas yang jatuh, penderitaan kaum Quraisy masih harus ditambah habisnya modal perang mereka. Maka Quraisy ‘memproduksi tanda’ yakni shock, kemudian murka, sebagaimana ekspresi pasutri Abu Sufyan dan Hindun tadi. Quraisy merasakan kekuatan kaum Muslimin telah begitu besar, ditambah citra Islam yang demikian terangkat ke seantero jazirah Arab. Peradaban yang baru lahir di Madinah tidak sampai dua tahun sebelumnya itu telah memperoleh wibawanya, mengokohkan dirinya sebagai kekuatan baru dari jazirah Arab.

Shock dan murka Quraisy bisa dimaknai bukan hanya oleh kaum Muslimin tapi juga publik seantero jazirah Arab. Pemaknaan dalam semiotika itu memang harus bersifat ‘publik’, bukan lagi pemaknaan individual atau kelompok.

Peristiwa perang Sawiq (tepung), yang terjadi beberapa bulan pasca Badar, tepatnya bulan Dzulhijjah tahun 2 H. Ekspedisi 200 serdadu kaum Quraisy di bawah pimpinan Abu Sufyan bin Harb ke Madinah terjadi pada tanggal 5 Dzulhijjah, tadinya bertujuan untuk mengembalikan citra kekuatan kaum Quraisy di mata masyarakat Arab. Abu Sufyan sebelumnya telah bernadzar tidak mau menyentuh istrinya dan mengharamkan minyak atas dirinya sampai ia mampu membalas dendam kepada Rasulullah (Sirah Nabawiyah Ibnu Hisyam, jld II, bab “Perang As-Sawiq” dan Maghazi Al-Waqidi bab “Penyerbuan ke Sawiq”). Tidak tahunya Abu Sufyan dan pasukannya gagal total karena ia hanya membunuh dua orang kaum Muslimin Anshar dan membakar sebuah kebun kurma saja di dekat Madinah. Dalam tahap ini “tanda” shock dan murka sudah bergeser ke arah reaksi, sedangkan individu-individu kaum Muslimin tentu telah menyaksikan hasil reaksi tersebut ketika pasukan Abu Sufyan datang ke sekitar Madinah, walaupun serangan itu bisa dikatakan serangan gagal. Tiap-tiap individu Muslim merasakan akan timbulnya konflik yang lebih hebat akibat angkara murka Quraisy ini dan itu dibuktikan dengan adanya perang Uhud.

Singkat cerita dalam ekspedisi itu, Abu Sufyan dan pasukannya justru kabur saat dikejar Rasulullah SAW beserta para sahabat. Ekspedisi yang bertujuan mengangkat ‘elektabilitas’ citra Quraisy ini, akhirnya sia-sia belaka. Citra Quraisy justru tambah merosot, karena ekspedisi pasukan Abu Sufyan itu terlampau sekali mental pengecutnya. Itu terlihat dari tepung jelai milik kaum Quraisy dalam jumlah besar berjatuhan di dataran rendah Qarqarat Al-Kudri karena pasukan Abu Sufyan lari terbirit-birit ketakutan dikejar pasukan Rasulullah. Kaum Muslimin justru untung besar karena tepung tersebut bisa menjadi bahan makanan bagi penduduk Madinah meskipun tetap turut berduka atas terbunuhnya dua kaum Anshar akibat serangan mendadak Abu Sufyan. Tiap ada informasi percikan antara Makkah versus Madinah, bangsa Arab pasti memasang mata dan telinganya, sekali lagi masyarakat Arab melihat Quraisy Makkah sebagai pengecut dan melihat Islam sebagai kekuatan baru yang menonjol. Tentu saja ini adalah perang opini dan urat-syaraf sekaligus. Penekanannya di sini adalah rasa malu Quraisy yang merasa kalah telak di Badar, sehingga ekspedisi Abu Sufyan ini bertujuan mengangkat citra Quraisy sekalipun berakhir dengan kegagalan. Rasa malu inipun termasuk pemicu utama pecahnya perang Uhud, lantaran besarnya amarah kaum Quraisy.

Meskipun begitu, ekspedisi Abu Sufyan bukan sama sekali tanpa hasil, ia dan pasukannya berhasil membakar kebun kurma di Al-Uraidh, membunuh dua kaum Anshar yang sedang bekerja di sawah dengan serangan mendadak, dan mendapat informasi dari sekutunya di Madinah, Sallam bin Misykam, penjaga asset kaum Yahudi Bani Nadhir. Sallam banyak memberikan informasi kepada Abu Sufyan terkait kaum Muslimin Madinah. “Pesan” dari Abu Sufyan itu menunjukkan bahwa Quraisy masih sedikit bertaji. Tetapi dalam benak masyarakat seantero jazirah Arab, citra positif tetap berpihak kepada kaum Muslimin dan citra negatif tetap melekat di Quraisy, malahan orang-orang Arab semakin memandang Abu Sufyan dan Quraisy Makkah sebagai pengecut. Keuntungan terbesar ekspedisi Abu Sufyan ada pada pembicaraannya dengan Sallam bin Misykam, sehingga pihak Makkah mendapatkan informasi-informasi seputar Madinah.

Oleh karena “tanda” sudah bergeser ke arah reaksi, Rasulullah juga membalasnya dengan reaksi yang kuat sebagai “pesan” ke jazirah Arab dan Quraisy tentunya. Perang Bahran atau perang Al-Furu’ di Bahran yang terjadi pada bulan Jumadil Awal tahun 3 H buktinya. Bahran adalah sebuah jalan yang sering dilalui oleh kafilah dagang Quraisy dari Makkah ke Syam, serta dari Syam ke Makkah. Ibnu Ishaq (Sirah Nabawiyah Ibnu Hisyam) mengatakan, Rasulullah bersama 300 orang mujahidin melakukan ekspedisi dari bulan Rabiul Akhir hingga Jumadil Awal. Dalam tempo 10 hari perjalanan beliau ke sana (Maghazi Al-Waqidi), beliau sempat bertemu seorang dari Bani Sulaim dan mengorek banyak informasi darinya pada suatu malam, Bani Sulaim sendiri merupakan cabang Bani Ghathafan yang sangat memusuhi Islam. Setelah mendapat banyak informasi, lelaki tersebut dilepaskan. Dalam ekspedisi ini Rasulullah mendapat dua keuntungan, 1) Diperolehnya banyak informasi mengenai Bani Sulaim dan Ghathafan, mereka memusuhi Islam. Lalu pada tahun kelima, Ghathafan memang berkoalisi dengan Quraisy dan Yahudi mengepung Madinah. 2) Memastikan Madinah masih menguasai jalur dagang strategis dari Hijaz ke Syam, lewat ekspedisi tanpa pertempuran ini Rasulullah seolah mengirim “pesan” ke Quraisy dan suku-suku Arab bahwa Madinah tetap punya hegemoni di jalur dagang strategis tersebut. Dalam peristiwa ini “tanda” murka Quraisy sudah menjadi konvensi ke mana-mana, bukan hanya ke kaum Muslimin, tapi juga ke jazirah Arab. Bahwa perkara ini bukan hanya perkara kalah menang di medan perang, tapi sudah sampai taraf perebutan hegemoni jalur dagang.

Angkara murka Quraisy semakin membuncah kala jalur dagang strategis ke Syam melalui Najd dan Iraq pada bulan Jumadil Akhir juga berhasil dikuasai oleh Madinah. Bermula dari himpitan ekonomi yang melanda Makkah pasca Badar membuat Quraisy berpikir keras untuk menemukan jalur dagang baru selain pantai Barat (Hijaz) dari Makkah-Madinah-Dumatul Jandal-Syam, yakni melalui jalur Najd dan Iraq ke Syam. Ini terbukti dalam peristiwa ekspedisi ke Qaradah.

Tokoh Quraisy Shafwan bin Umayyah, yang hendak berdagang ke Syam bersama rombongan kafilah dagang Quraisy mengungkapkan, “Sungguh Muhammad dan para pengikutnya mempersulit perdagangan kami. Kami tidak tahu apa yang harus kami perbuat terhadap para pengikutnya. Mereka tidak meninggalkan pesisir (Barat) dan orang-orang pesisir telah membuat kesepakatan dengan kaum Muslimin. Kami tak tahu jalan mana yang harus kami lalui. Jika kami tinggal, kami hanya makan modal kami sementara kami berada di tanah kami sendiri, dan tak punya perbekalan yang cukup di tanah ini. Sungguh, kami biasanya pergi berdagang ke Syam setiap musim panas, dan berdagang ke Habasyah pada musim dingin.”

Aswad bin Muththalib menimpali “Jauhi saja jalur pesisir dan tempuhlah jalan ke Iraq.” Akhirnya terpilih Furat bib Hayyan dari Bani Bakr bin Wail sebagai penunjuk jalan (Al-Maghazi Al-Waqidi, Ekspedisi ke Qaradah). Pemimpin Quraisy seperti Abu Sufyan bin Harb pun turut serta dalam rombongan dagang, harta perak milik Abu Sufyan merupakan harta paling besar dalam rombongan kafilah tersebut. Peristiwa ini dimaknai kalau Quraisy sedang berusaha menempuh jalur dagang baru mengingat krisis ekonomi makin melanda Makkah, apalagi jika mereka tidak bisa mencapai Syam untuk berbisnis.

Sebelumnya, jalur dagang ke Syam melalui pesisir Barat Hijaz (Makkah-Madinah) sudah direbut pihak Madinah bahkan sebelum perang Badar, melalui datasemen-datasemen yang dilancarkan Rasulullah. Setelah kemenangan Badar Al-Kubra, otomatis Madinah semakin memegang hegemoni di jalur dagang strategis menuju Syam, terlebih kota Madinah sendiri merupakan tempat transit para kafilah dagang Arab menuju Syam, terutama bagi mereka yang bermukim di arah selatan Madinah seperti Makkah.

Di jalur dagang menuju Syam juga ada banyak mata-mata Rasulullah. Melalui keislaman Buraidhah bin Hushaib Al-Aslami dari Bani Aslam bersama 70-80 orang kaumnya, mereka masuk Islam dihadapan Rasulullah saat perjalanan beliau hijrah ke Madinah bersama Abu Bakr Ash-Shiddiq (Musnad Ahmad, jld 5, h. 346; Thabaqat Al-Kubra Ibn Sa’ad, jld 4, h. 242), tepatnya di daerah Ghamim. Bani Aslam telah bersumpah setia kepada Rasulullah dan kaum Muslimin. Bani Aslam adalah kaum setelah Bani Ghiffar yang banyak memberikan informasi kepada Rasulullah terkait gerak-gerik serangan Quraisy maupun berbagai kabilah yang memusuhi Islam.

Kembali ke peristiwa berangkatnya kafilah dagang Quraisy melalui jalur Najd-Iraq. Dengan pemaknaan jitu akan “tanda”, akhirnya 100 mujahidin kaum Muslimin yang dipimpin Zaid bin Haritsah dikirim oleh Rasulullah untuk menghadang rombongan Quraisy. Beliau telah mendengar kabar kepergian kafilah dagang Quraisy melalui jalur Najd-Iraq. Akhirnya kafilah itu tercerai-berai diserang Zaid dan pasukannya, kaum Muslimin mendapatkan ghanimah perak sebanyak 30 ribu dirham, dan harta total sebanyak 100 ribu dirham. Sang penunjuk jalan, Furat bin Hayyan berhasil ditangkap, setelah itu ia dihadapkan ke Rasulullah, Rasulullah mengajaknya masuk Islam dan Furat pun menjadi mualaf. Dengan demikian Madinah kini memiliki orang yang paling paham jalur dagang ke Syam melalui Najd-Iraq. Begitu juga hegemoni di jalur Hijaz dan Iraq, bisa dikatakan ada di tangan kaum Muslimin. Belakangan karena sudah begitu terdesak karena krisis ekonomi dan angkara murka Quraisy telah demikian meledak, kaum Quraisy bertekad mengumpulkan harta para pembesar mereka untuk modal berperang sehingga meletuslah perang Uhud bulan Syawal tahun 3 H.

Meletupnya angkara murka Quraisy bukan hanya hasil benturan di perang Badar Al-Kubra saja, namun perlu diingat juga sebagai hasil dari konflik aqidah, dakwah Rasulullah di Makkah selama 13 tahun benar-benar mengguncang tatanan masyarakat Quraisy yang sudah mapan. “Tanda” angkara murka Quraisy memang sudah potensial meletup sejak awalnya. Kita harus ingat, terjadinya peristiwa hijrah ke Madinah sendiri adalah akibat permusuhan, penyiksaan dan pengusiran kaum Quraisy terhadap umat Islam, bukan peristiwa yang terjadi begitu saja. Sedangkan perang Badar adalah konsekuensi perbuatan Quraisy karena merampas harta kaum Muslimin. Pengusiran dan permusuhan Quraisy pun membuat legitimasi tersendiri, bahwa kaum Muslimin merupakan pihak yang berhak untuk melawan kezhaliman Quraisy, di samping telah diturunkannya syariat jihad tentunya. “Tanda” yang diproduksi dari Quraisy jelas sudah eksis jauh sebelum Badar Al-Kubra, begitu juga proses pemaknaan akan “tanda” tersebut.

‘Psycho-war’ dan benturan opini pasca Badar semakin menegaskan tepatnya pemaknaan kaum Muslimin terhadap “tanda-tanda” yang diproduksi Quraisy. Kaum Quraisy dan Islam sudah terlibat perang opini dan urat-syaraf sejak fase dakwah di Makkah. Eskalasi dalam konflik Islam-Quraisy sudah terbentuk sejak awalnya. Maka pemaknaan akan “tanda” tersebut tidak akan jauh dari benturan aqidah, pandangan hidup serta tradisi. Konflik antara kaum yang menolak tradisi jahiliyah dan memilih mengesakan Allah semata, dengan pendukung tradisi jahiliyah dan kemusyrikan. Proses pemaknaan akan “tanda” sendiri bisa dibuktikan dari reaksi masing-masing pihak. Angkara murka sebagai “tanda” yang diproduksi Quraisy tersebut merupakan mata rantai peristiwa yang menghasilkan berbagai transformasi hubungan Quraisy dan Islam, baik sebelum maupun sesudah perang Badar.

Jika kita mengingat ranah ilmu sosial, psikologi sosial maupun sosiologi, hubungan Islam dan Quraisy dalam konteks ini bisa dilihat dari model spiral konflik, sebagai bahasan Teori Konflik Sosial. Peristiwa demi peristiwa menjadi ajang aksi dan reaksi antara satu dengan yang lainnya. Sesuatu yang dilakukan oleh satu pihak, mendorong pihak lain untuk merespon, kemudian respon ini menjadi dorongan lebih lanjut untuk tindakan yang lebih ‘keras’ dari sebelumnya. “Di dalam spiral-konflik, konfliknya dalam tataran konsep berbentuk spiral, bersifat balas-membalas (retaliatory), masing-masing pihak menjatuhkan hukuman kepada pihak yang lain atas tindakan-tindakannya yang dianggap tidak menyenangkan (aversif)” (Dean Pruitt dan Jeffrey Rubin, Teori Konflik Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009).

Terlihat pasca Badar Al-Kubra, terdapat peristiwa Sawiq, Bahran dan Qaradah, ada proses pemaknaan dari “tanda” yang diproduksi Quraisy oleh kaum Muslimin. Balas-membalas perbuatan yang dinilai aversif dari masing-masing pihak. Kaum Muslimin adalah pihak komunikan atau penafsir yang jitu, sehingga “tanda” dari Quraisy itu bisa diantisipasi dengan baik. Buktinya jalur dagang yang dibutuhkan Quraisy untuk berdagang ke Syam baik jalur Hijaz dan Najd-Iraq, keduanya bisa dipegang oleh Madinah. Opini pun lebih memihak kepada Madinah setidaknya sampai meletus perang Uhud.

Angkara murka Quraisy yang berlapis-lapis itu jelas bukan hanya dituai dari kekalahan perang Badar, ada banyak faktor lainnya yang mesti diingat juga, dari pergumulan Islam dengan Quraisy 13 tahun di Makkah; tradisi mapan pembesar Quraisy yang diganyang kaum Muslimin; perihal jalur dagang ke Syam; serta rasa malu karena kalah di Badar Al-Kubra yang bersamaan dengan melonjaknya citra kaum Muslimin di mata bangsa Arab. Dalam konteks peristiwa-peristiwa pasca Badar Al-Kubra nampaknya rasa malu terhadap kekalahan perang Badar, tewasnya para pembesar Quraisy dan perebutan hegemoni jalur dagang merupakan tiga faktor terbesar angkara murka Quraisy. Mengapa? Itu bermakna bahwa Quraisy adalah kaum yang memegang hegemoni di jazirah Arab, paling tinggi nasabnya, kedudukannya maupun kaum yang paling kaya. Namun mereka harus menghadapi kenyataan bahwa ada pihak yang mereka benci aqidahnya, yang pemeluk aqidah tersebut banyak dari masyarakat kelas bawah di Makkah serta berasal dari kerabat-kerabat mereka sendiri, begitu mengancam kemapanan tradisi, kedudukan, kekayaan dan keyakinan Quraisy. Pemaknaan demikian membuat cakrawala kita akan “tanda” Quraisy yang berwujud kemurkaan mereka menjadi lebih jelas dan terang.

Ilham Martasyabana
Penggiat sejarah Islam & pemegang ijazah sanad hadits Arbain Nawawi

Artikel Terkait

Back to top button