Jokowi Ngapain Saja, Kok Bisa Sampai Kalah?
- Di media sosial narasi, nada, dan suaranya semua seragam. Lawan, perang, libas dan sejumlah narasi lainnya. Inilah naluri paling purba yang digambarkan dalam teori evolusi Charles Darwin sebagai mekanisme pelestarian ras dari seleksi alam.
Mau mereka ngomong apa saja, perilaku mereka menunjukkan tanda-tanda sebagai orang yang terdesak, terancam, di ambang kekalahan. Tidak ada orang yang sudah merasa pasti menang, elektabilitas mendekati 60 persen, dengan selisih atas lawan lebih dari 25 persen, berperilaku seperti Jokowi dan para pendukungnya.
Tidak ada orang yang sudah pasti merasa menang mengambil metafora “rantai sepedanya putus.” Apalagi hal itu disampaikan dalam clossing statement debat yang disaksikan lebih dari seratus juta penonton.
Tidak ada orang yang sudah yakin menang membuat publikasi konyol. Berdasar survei, pendukung Front Pembela Islam (FPI) terbelah. Jokowi hanya kalah tipis dari Prabowo. Barangkali kalau matahari sudah terbit dari Barat, hal itu bisa terjadi.
Tidak ada tukang survei yang yakin jagoannya tak akan terbendung melayani tantangan konyol netizen. Bertaruh akan pindah ke negara komunis kalau sampai Jokowi kalah.
Semua itu menunjukkan perilaku konyol orang panik. Perilaku konyol orang yang menyadari junjungannya bakal kalah. Tak bisa lagi membedakan mana yang benar dan mana yang salah.
Seorang penguasa yang sudah merasa di atas angin. Yang merasa elektabilitasnya tak mungkin terkejar, perilakunya pasti penuh percaya diri. Perilaku itu setidaknya pernah ditunjukkan oleh Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ketika pada Pilpres 2009 memilih Budiono.
Dia tak peduli Budiono tidak mewakili representasi Jawa-non Jawa. Tidak mewakili representasi kekuatan parpol, tidak menjanjikan tambahan elektabilitas. Budiono adalah akademisi dan kemudian menjadi birokrat. Secara politik, pria kalem ini tidak punya pendukung. Terbukti SBY tetap melenggang.
Kalau benar Jokowi sangat perkasa, ibarat kata dipasangkan dengan sendal jepit pun menang. Seharusnya dia tak usah susah payah mencari cawapres.
Tak perlu ada drama eliminasi Mahfud MD di hari terakhir pendaftaran paslon. Tak perlu menggaet Kyai Ma’ruf Amin, seorang Ketua Umum MUI dan Rais Aam PBNU.
Perilaku seperti yang dilakukan Jokowi dan pendukungnya menunjukkan perilaku orang yang panik tingkat dewa. Semua hal dilakukan agar selamat. Seperti orang yang akan tenggelam, mengira sebatang jerami sebagai sebatang pohon.