OPINI

Jokowi Ngapain Saja, Kok Bisa Sampai Kalah?

Story Highlights
  • Di media sosial narasi, nada, dan suaranya semua seragam. Lawan, perang, libas dan sejumlah narasi lainnya. Inilah naluri paling purba yang digambarkan dalam teori evolusi Charles Darwin sebagai mekanisme pelestarian ras dari seleksi alam.

Agak mengherankan

Sebagai inkumben yang sudah berkampanye hampir selama lima tahun, seharusnya tidak ada kamusnya Jokowi kalah. Apalagi jika ingatan kita kembali ke Pilpres 2014. Jokowi digambarkan seperti manusia setengah dewa.

Seorang Satrio Piningit, Ratu Adil yang akan membawa Indonesia menjadi negara yang gemah ripah, loh jinawi. Adil makmur, toto tentrem, kerto raharjo. Ekspektasi publik terhadap pria sederhana dari tepian Bengawan Solo ini sangat tinggi.

Seiiring waktu, harapan itu menguap bersama angin lalu. Satu persatu janjinya terbukti tak bisa dipenuhi. Publik mulai memahami bahwa kapasitasnya sebagai pemimpin sangat terbatas.

Seorang walikota dari kota kecil seperti Solo yang dipaksakan menjadi Gubernur DKI dan kemudian melompat menjadi Presiden RI. Ibarat seorang sopir angkot yang tiba-tiba dipaksa membawa sebuah truk gandengan, truk trailer dengan beban yang sangat berat.

Seorang pria dengan narasi sangat sederhana dan terbatas, tak punya gagasan besar yang mampu menggerakkan bangsa Indonesia melakukan kerja besar. Meminjam metafora dari inisiator Gerakan Arah Baru Indonesia (GARBI) Anis Matta, “Langitnya sangat tinggi, kemampuan terbangnya sangat rendah.”

Singkat kata Jokowi adalah seorang presiden dengan kemampuan terbatas, under capacity. Sementara masalah yang dihadapi bangsa sangat besar. Membutuhkan seorang presiden yang full capacity!

Yang lebih parah lagi publik menyadari sebagai Presiden, Jokowi bukanlah figur mandiri. Dia terkesan seperti boneka. Ada kekuatan besar di belakangnya yang mengendalikan. Kekuatan yang sering disebut sebagai deep state, negara dalam negara. Mereka inilah yang disebut sebagai oligarki.

Satu persatu pendukungnya, orang-orang yang masuk dalam pendukung garis kerasnya (die hard) meninggalkannya. Mereka menjadi muallaf politik, setelah menyadari salah memilih presiden.

Hari ini, Rabu (3/4) di medsos beredar pernyataan sikap M Jumhur Hidayat yang memutuskan meninggalkan Jokowi. Mantan aktivis mahasiswa ITB dan pernah menjadi Ketua BNP2TKI secara tegas menyatakan kecewa terhadap Jokowi.

Langkah Jumhur merupakan bagian gelombang besar migrasi pendukung Jokowi. Sebagai Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja Maritim Indonesia (FSPMI) dan Gabungan Serikat Pekerja Merdeka Indonesia (Gespermindo) ada gerbong panjang di belakang Jumhur.

Laman sebelumnya 1 2 3 4Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button