RESONANSI

Jokowi, Pantaskah Disebut ‘Humanity Robotic’ Oligarki?

Menyentuh ke pemikiran antitesis seperti ini hanya terjadi di negeri ini. Tiada “kesetiaan militan yang menggila”, kepenurutan perintah yang tiada terhingga, sampai “bujang di dapuk” pun bak jongos puritan alias budak sesembah kehambasahayaan dimandatoris.

Itulah level watak dan karakter kesetiaan militan yang dicangkokan ke dalam sistem algoritma “humanity robotic”. Alias, manusia robotik.

Meski masih berada di ruang imajiner fantasi produk karya para pakar sineas digital cinemaplex technology di film-film bertema futuristik.

Tetapi, di negeri nan kaya namun miskin kewarasan dan moralitas ini watak dan karakter kepemimpinan tingkat loyalitasnya sudah nyaris semacam itu.

Dan itu tak dinyana terjadi di dunia politik kenegaraan yang sudah membawa dampak sangat kompleksitas bagi rakyatnya –terlebih sudah mampu mengkooptasi seorang Presiden–nyaris menyamainya meski dirinya tulen seorang manusia.

Pertanyaannya siapakah gerangan yang menjadi tuannya? Siapa sang Raja Besarnya itu? Hingga Sang Presiden didapuk bujang bak jongos yang harus nunut, manut dan nurut? Suatu bentuk implementasi “kesetiaan militan yang menggila” tadi itu?

Tuan Rajanya, adalah oligarkis. Segelintir orang yang mengendalikan korporasi konglomerasi. Saking besarnya kekuatan oligarki konglomerasi korporasi itu, boleh jadi mereka itu bisa berbuat apa saja jangankan di negaranya yang bisa membeli pulau kaya sumber daya alam, di bagian belahan regional, bahkan dunia mondial pun bisa melakukan bentuk kolonialisasi baru. Bukan melalui perang bersenjata menganeksasi dan menginvasi, tetapi melalui ladang menggiurkan bernama investasi.

Lagak gaya baru kolonialisasi itu tengah menggejala di negeri ini. Bagi para pemimpin tinggi negeri yang tipis rasa nasionalisme —atau hanya berkedok berkepura-puraan sesungguhnya penuh keculasan dengan lidahnya tak bertulang mudah sekali berbohong—akan mudah terjebak dan menjadi sintom sinonim dalam pancingan kekuatan pengaruh konglomerasi oligarki ini.

Padahal, label investasi yang baik dan benar itu di dalam teori dunia akademis ilmu ekonomi pembangunan itu bermatra pada kesenyawaan simbiosis mutualisme. Investasi sedemikian adalah bukan produk material semata. Tetapi, unlinier ekonomi yang mengandung prestasi yang bisa diharapkan dan dibanggakan bagi para pelakunya, negara, pemerintah dan rakyatnya.

Bahkan, investasi itu menjadi capital gain dan value add dalam agregasi ekonomi terkait seluruh faktor-faktor produksi yang berkemaslahatan untuk kepentingan banyak orang dan lembaga negara.

Tetapi, ketika itu bisa bersinggungan dengan dunia politik kotor, tak peduli bentuk dan sistem politik negaranya maunya apa, ntah Republik, Federasi dan atau Monarki.

Oligarki dalam bentuk resipien politik paling kotor, hitam kelam dan sesungguhnya amat bengis itu mampu lebih mendominasi dan menghegemoni kekuasaan tertinggi sekalipun di mana pun di suatu negara. Termasuk, di negeri dengan IQ gorila di rata-rata populasi penduduknya ini.

1 2 3Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button