Jurang dalam Disparitas Kecerdasan Politik Rakyat
Juga sudah tercium bau mesum dan licik rezim—seperti analisi Rocky Gerung tim ini mulai bekerja menyasar kalangan intelektual dan akademisi yang dibayar untuk melanjutkan agar premis hukum perihal perpanjangan Presiden. Tiga periode itu bisa dilanjutkan secara hukum juga.
Rupanya sampai hanya itu saja yang dapat dilakukan oleh kelompok masyarakat “cerdas politik” itu, dibiarkan wara-wiri berada di panggung pansos tempat koneksi penguat “wifi-interneting” fasilitas penyedia penyintas meladeni perang nyinyir dan “adu bacot” argumentasi yang padahal sambil lalu sudah tidak didengar lagi oleh rezim penguasa di jejaring media sosial tersebut.
Akibatnya, sudah jarang melakukan aksi-aksi demo turun ke jalanan dalam skala kecil pun, apalagi melakukan aksi gerakan terstruktur, sistematis dan masif dalam eskalasi untuk mewujudkan “People Power”.
Entahlah, itu apakah dikarenakan ketakutan masih adanya pandemi C-19 atau memang sudah terlena dengan adanya media sosial elektronik digital yang justru membuat semakin individualistik sangat mudah menguraikan kerekatan kelompok-kelompok masyarakat dan semakin akan eksklusif terhadap kepentingan kelompok kecilnya.
Sehingga, memang akan lebih sulit membuat kebersatuan untuk menjadi kelompok besar.yang akan mampu menggedor dan merobohkan pintu istana rezim Presiden.
DiIkarenakan akan sia-sia dan percuma saja mengguncang pintu-pintu DPR, MPR, atau gerombolan lembaga tinggi yudikatif lainnya, meski Makhamah Konstitusi sesungguhnya masih menyimpan satu kunci pintu gerbang demokrasi dengan PT 0%. Tetapi tentu MK akan sangat mempersulit setiap upaya legal standing mengajukan permohonan gugatan judicial review-nya.
Tetapi, sebaliknya bagi kelompok masyarakat terbelakang dan miskin di pedesaan, juga termasuk masyarakat miskin dan terpinggirkan di perkotaan adanya masalah fakta ekonomi itu memandangnya dengan cara yang terpaksa dibuat seperti “euphimisme”, sangat sederhana dan super-instan, sepanjang ada semacam “Sinterklas” yang mengulurkan bantuan sosialnya ke kelompok semua dianggap beres dan tidak ada sama sekali stimulasi reaktif apalagi yang bersifat melakukan perlawanan terhadap adanya kepentingan perubahan nasib akibat kemiskinan yang dideritanya selama ini.
Coba bayangkan mereka masih rela mengantri mengular ratusan meter dengan bercapek-capek padahal itu mereka masih dengan membeli bukan karena dalam rangka menerima minyak goreng bantuan bansos.
Atau juga seperti disampaikan oleh Bung Rocky Gerung percontohannya hanya dengan “small thing money politic” Rp200.000,- seorang tukang dawet di Purwokerto yang sungguh suaranya berdaulat sangat mahal kemudian rela memberikan suaranya begitu saja untuk kemenangan Jokowi karena mereka pikir dan anggap Jokowi adalah simbol dan cermin seperti kebanyakan orang mereka “berbadan kerempeng”, ndeso dan seperti terlihat lugu yang padahal kemudian setelah menjadi Presiden justru jauh meninggalkan dan mengabaikan mereka.
Maka, boleh jadi suatu keniscayaan juga jika kekalahan Prabowo-Sandi dalam Pilpres 2024 dikarenakan salah satunya faktor masalah disparitas ini.