OPINI

Kambing Hitam itu Adalah Lafaz Kafir

Lihatlah Inggris yang kemudian menjadikan negeri-negeri bekas jajahannya sebagai commonwealth atau negeri persemakmuran. Betul negeri negeri persemakmuran ini memiliki otonomi mengatur pemerintahannya, hanya saja tetap mereka harus mengakui Ratu Inggris. Secara fungsional, negeri-negeri persemakmuran ini layaknya spionase bagi kepentingan Inggris di kawasannya masing-masing. Di kawasan Asia Tenggara, terdapat negeri-negeri persemakmuran seperti Malaysia, Singapura maupun Australia sebagai negara satelit bagi Inggris.

Mari sekarang kita alihkan pandangan ke benua Eropa. Negara-negara Eropa telah membentuk apa yang disebut dengan Masyarakat Ekonomi Eropa dengan penyatuan mata uang yakni menggunakan mata uang euro. Amerika Serikat sendiri tidak secara murni menerapkan konsep nation state akan tetapi konsep negara serikat. Bahkan ketika Amerika Serikat terlibat dalam Perang Teluk di tahun 1991 M di kawasan Timur Tengah juga mengatasnamakan pasukan multinasional. Sebuah pasukan gabungan beberapa negara seperti Amerika Serikat sendiri, Inggris dan lainnya.

Lantas yang menjadi pertanyaan mengapa negeri-negeri Islam dituntut agar mengambil konsep negara bangsa ini?. Bukankah sebuah bangsa pada satu keadaan memiliki sumber daya yang tidak dimiliki oleh bangsa lain. Sedangkan dengan mengadopsi persatuan tanpa dibatasi oleh sekat-sekat kebangsaan akan mampu menyatukan semua potensi yang dimiliki masing-masing bangsa tersebut. Apatah lagi bagi negeri-negeri Islam memiliki faktor yang sangat kuat untuk bisa mendorong persatuan dan kesatuannya dalam kesatuan politik dan pemerintahan, yakni faktor keyakinan yang sama adalah Islam.

Tinggal persoalan hubungan antarwarga negara yang tentunya beragam. Ada yang muslim dan ada pula yang kafir. Di dalam konsep politik, negara bangsa menggunakan sistem Demokrasi. Sistem Demokrasi menegaskan bahwa semua warga negara memiliki hak dan kewajiban politik yang sama tanpa diskriminasi. Ternyata fakta yang terjadi berkebalikan dengan secara konseptual. Di Amerika Serikat, terjadi masih terjadi diskriminasi kulit hitam dan kulit putih. Seperti yang dinyatakan di dalam sebuah situs yakni https//m.dw.com yang menurunkan tajuk diskriminasi kulit hitam di Amerika Serikat pada 27 Nopember 2014. Angka kemiskinan masih didominasi oleh warga negara berkulit hitam yakni sekitar 30 persen. Begitu pula diskriminasi dalam ketenaga kerjaan, warga berkulit hitam mengalami diskriminasi 2 kali lipat sejak 50 tahun terakhir.

Sedangkan diskriminasi yang terjadi kepada warga muslim di Amerika Serikat. Menurut studi Pew Research Center, bahwa hampir setengah dari warga muslim di AS menagku telah mengalami diskriminasi dalam setahun ke belakang. Sedangkan 74 persen menyebut bahwa Presiden Donald Trump ‘tidak bersahabat’ kepada mereka (BBC Indonesia, 27 Juli 2017). Bentuk – bentuk diskriminasi paling umum yang mereka alami di antaranya diperlakukan dengan prasangka sebanyak 32 persen responden, diperlakukan secara khusus oleh petugas keamanan bandara sebanyak 19 persen, disebut dengan panggilan yang menghina sebanyak 18 persen, diperlakukan secara khusus oleh penegak hukum sebanyak 10 persen dan diancam secara fisik atau diserang sebanyak 6 persen.

Kita juga tidak bisa menutup mata terhadap perlakuan diskriminatif PBB terhadap kaum muslimin di Palestina. Tidak ada sanksi tegas dari PBB terhadap Israel yang berulang kali melanggar resolusi Dewan Keamanan PBB. Bahkan President Trump mendukung akuisisi Palestina sebagai ibu kota Israel. Begitu pula perlakuan diskriminatif pemerintah China terhadap muslim Uighur. Mereka disiksa, dibantai dan diintimidasi oleh rezim komunis. Kaum Muslimin di Myanmar yang menderita oleh kekejaman Rejim Budha Birma. Dan masih banyak perlakuan diskriminatif lainnya yang hanya menunjukkan satu hal bahwa kesetaraan hak dan kewajiban di antara warga negara hanyalah jargon kosong dan bualan.

Bahkan di dalam negeri sendiri, di Indonesia terjadi perlakuan diskriminatif yang menyakitkan. Lihat itu perlakuan hukum negara kepada penista agama. Ahok yang menistakan ayat 51 Al Maidah, baru bisa ditindak secara hukum ketika umat Islam harus turun jalan dalam beberapa jilid dengan jumlah jutaan orang. Ini sebagai satu contoh dan masih banyak perlakuan diskriminatif lainnya. Seperti kasus pelaporan Sukmawati terkait puisinya yang menyatakan suara kidung lebih indah dari azan, dan konde yang lebih cantik daripada jilbab. Sampai hari ini tidak ada penindakan hukum sama sekali.

Lantas timbul pertanyaan, mengapa keputusan ini yakni penghilangan sebutan Kafir bagi non muslim karena sama-sama warga negara ini baru muncul sekarang menjelang perhelatan akbar pemilu 2019?.

Laman sebelumnya 1 2 3 4Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button