NASIONAL

Kamus Sejarah Sudah Beredar di Toko Daring, DPR: Segera Larang Peredarannya!

Jakarta (SI Online)-Wakil Ketua Komisi X DPR RI menyayangkan kamus kontroversial terbitan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI berjudul “Kamus Sejarah Indonesia Jilid I & II” tetap beredar, bahkan diperjualbelikan di toko daring (online shop).  

“Padahal kata Mas Menteri (Nadiem) dan Dirjen (Kebudayaan) sudah ditarik, tapi percuma karena sudah beredar di masyarakat, kecuali dilarang,” kata Fikri menanggapi polemik tersebut di Semarang, Kamis (22/4/2021).

Kamus Sejarah Indonesia Jilid I & II terbitan Kemendikbud tersebut mudah ditemui di Olshop semudah mengklik di mesin pencari di internet.  

“Jadi ini seperti mau menghapus kesalahan, tapi dosanya terlanjur menjalar kemana-mana,” ucap Fikri.

Politisi PKS ini menyatakan, setelah Mendikbud dan Dirjen Kebudayaan mengakui adanya kesalahan atas penerbitan buku tersebut, sebaiknya Kemendikbud mulai melakukan pembersihan ‘dosa’.  

Baca juga: Kontroversi Kamus Sejarah Indonesia, Ketua MUI: Revisi Bukunya, Ganti Pejabatnya

Baca juga: Hilmar Farid, Dirjen Kebudayaan yang Pro Komunis

“Segera larang peredarannya, karena sangat meresahkan, bila tidak dilarang, berarti memang benar demikian isi buku tersebut,” ujar Fikri.

Seperti diketahui, Kamus Sejarah Indonesia terdiri atas dua jilid. Jilid I dengan sub-judul Nation Formation (1900-1950) dan Jilid II: Nation Building (1951-1998). 

Namun disayangkan, tokoh penting nasional yang sekaligus pendiri Nahdatul Ulama, Hadratusy Syaikh Hasyim Asy’ari tidak ada dalam entry khusus (yang disusun secara alfabetis) dalam kamus tersebut.  Demikian pula dengan kiprah proklamator RI, Soekarno & M. Hatta, tidak ditemukan dalam entry alfabetis di dalam Kamus Jilid II. 

Fikri mengajak semua elemen negeri ini untuk bersama meluruskan sejarah bangsa yang mulai dicemari upaya pembelokan dan penghilangan sejarah, terutama kiprah K.H Hasyim Asy’ari.  

“Bila tanpa adanya fatwa jihad dari Hadratusy Syaikh Hasyim Asy’ari pada waktu itu, Bung Tomo dan puluhan ribu rakyat Surabaya tidak mungkin bertempur gagah berani dengan satu semboyan: merdeka atau mati, karena ulama adalah tokoh paling ditaati saat itu,”urainya.

1 2Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button