OPINI

Kapitalisasi Pendidikan di Indonesia

Sampai saat ini sistem pendidikan Indonesia memiliki potret buram. Setiap menjelang tahun ajaran baru, orang tua yang mempunyai anak usia sekolah sibuk mencari sekolah atau perguruan tinggi yang terkenal, cocok dan berkualitas untuk anaknya. Tak peduli berapa pun biayanya yang penting anaknya bisa masuk. Itu terjadi pada orang tua yang kaya atau mampu secara finansial.

Namun bagi para orang tua yang tidak mampu, jangankan buat sekolah, buat makan sehari-hari saja sulit. Terkadang ada yang terpaksa ngutang sana sini agar anaknya bisa sekolah, walau hanya disekolah pinggiran yang sangat jauh kualitasnya dibanding dengan sekolah di kota-kota besar, apalagi sekolah-sekolah yang berstandar internasional.

Fenomena itu tak asing lagi di negeri ini, tak heran tiap tahun banyak anak usia sekolah tidak melanjutkan sekolahnya. Mereka lebih banyak berada ditempat-tempat yang tidak seharusnya. Seperti di sawah atau ladang, ikut membantu orang tuanya. Di pabrik dan di jalan-jalan dengan berbagai aktivitasnya. Ada yang menjual koran, menjadi pedagang asongan, mengamen dan yang paling memprihatinkan adalah mengemis! Astaghfirullah…miris sekali. “Mengapa bisa terjadi seperti itu?”

Anak-anak yang seharusnya belajar, mengenyam pendidikan dan mereka bergembira disekolah dengan teman-temannya, tapi justru harus berada dalam dunia lapangan yang keras dan terkadang penuh dengan kriminalitas. Tak sedikit mereka terjerat dengan dunia narkoba dan seks bebas.

Sistem pendidikan di Indonesia sudah carut marut. Pendidikan yang kapitalistik sangat kentara. Mungkin tepatlah jargon orang miskin dilarang sekolah. Karena memang pada faktanya seperti itu. Masih ingat dibenak kita berbagai kejadian tragis gara-gara ketidakmampuan membayar uang sekolah atau syarat-syarat lainnya. Sungguh sangat disayangkan, seorang siswi dihukum jemur dilapangan ditengah-tengah ratusan siswa gara-gara tak mampu bayar seragam lengkap dengan badge dan logo sekolah.

Para orang tua yang tidak mampu dan miskin, mereka pasrah dan cenderung tidak percaya lagi dengan janji-janji program pemerintah seperti sekolah wajib 9 tahun gratis. Nyatanya ya bayar juga. Belum lagi kalau ada program study tour , orang tua benar-benar pusing dibuatnya karena harus membayar uang untuk biaya study tour tersebut. Program pemerintah di bidang pendidikan rupanya belum menyentuh semua anak. Buktinya, seorang gadis remaja di Brebes, Tri Maulidiyah Sari (14) harus putus sekolah karena alasan biaya. (https://news.detik.com/berita-jawa-tengah/d-3693180/sudah-tahun-2017-masih-ada-cerita-anak-putus-sekolah-karena-biaya).

Meskipun, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy mengklaim jumlah anak putus sekolah dalam empat tahun ini mengalami penurunan. Badan Pusat Statistik mencatat peningkatan Indeks Pembangunan Manusia dari 68,9 di tahun 2014 menjadi 70,81 di 2017. Jumlah anak yang putus sekolah di jenjang pendidikan dasar berkurang signifikan, dari 60.066 di 2015/2016 menjadi 32.127 pada 2017/2018. Rata-rata Lama Sekolah (RLS) meningkat dari 7,73 tahun 2014 menjadi 8,10 tahun 2017. Angka Harapan Lama Sekolah (HLS) juga meningkat dari 12,39 tahun 2014 menjadi 12,85 tahun 2017.(www.pikiran-rakyat.com) Angka ini masih relatif tinggi, belum lagi dengan data yang belum benar-benar masuk.

Inilah akibat sistem kapitalisme yang diterapkan di Indonesia. Pendidikan pun terkena imbasnya. Akibat kapitalisme, pendidikan semua berorientasi pada materi. Siapa yang kaya, maka dia yang berhak mengenyam pendidikan yang berkualitas sampai jenjang yang paling tinggi. Kurikulum pendidikan pun di buat sebatas formalitas dan keahlian yang tidak berbasis aqidah atau keimanan, wajar jika para murid dan lulusannya pun tidak banyak menghasilkan lulusan yang berkualitas dan mempunyai kepribadian yang luhur. Tak jarang juga kita saksikan kasus bullying, aksi-aksi brutal seperti tawuran pelajar dan perkelahian antar pelajar yang berujung pada hilangnya nyawa anak manusia.

Penerapan sistem kapitalisme juga telah menjadikan lembaga pendidikan atau sekolah sebagai lahan bisnis yang menyebabkan sekolah lebih fokus mencari keuntungan berupa materi dari pada mendidik anak-anak menjadi generasi yang berkualitas. Kapitalisme juga lah yang menjadikan negara lepas tangan dari kewajibannya mendanai pendidikan, kewajiban itu pun beralih kepada pihak sekolah yang akhirnya pihak sekolah membebankan biaya pendidikan yang mahal kepada orang tua siswa.

Sistem Kapitalisme juga telah mengakibatkan terjadinya pemikiran yang sekuler di ranah dunia pendidikan, yaitu memisahkan pendidikan itu sendiri dari agama. Maka wajar saja jika mata pelajaran agama hanya diberikan dua jam sekali dalam satu minggu dan hanya formalitas.

1 2Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button