SUARA PEMBACA

‘Karpet Merah’ dan ‘Hijau’ ala Khofifah

Terobosan baru dilakukan Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa. Demi memajukan investasi dan mendorong pertumbuhan ekonomi di Jawa Timur, Khofifah siap membentangkan ‘karpet merah’ dan ‘karpet hijau’ di Jawa Timur. Kebijakan ini diterapkan untuk menyeimbangkan ekonomi di Jawa Timur.

Melansir dari CNNIndonesia, 18/10/2019, Karpet merah yang dimaksud adalah membuka lebar untuk investasi baik PMA maupun PMDN, namun di sisi lain juga membuka lebar karpet hijau dengan mendorong pelaku koperasi, UKM dan IKM di Jawa Timur. Hal itu menjadi paparan yang ditekankan Khofifah dalam Simposium Arah Bauran Kebijakan Bank Indonesia dalam Menjaga Momentum Stabilitas dan Pertumbuhan Ekonomi dan Pelantikan Pengurus ISEI Cabang Surabaya Koordinator Jawa Timur Periode 2019-2022 di Gedung Negara Grahadi Surabaya, Jumat (18/10). “Kita ingin buka lebar karpet merah yang artinya ini outward looking yaitu kita memberikan ruang untuk investor baik PMA maupun PMDN . Tapi kita juga buka lebar karpet hijau yang berarti inward looking, yaitu memberikan ruang untuk koperasi, UKM dan IKM kita agar terus berkembang,” kata Khofifah.

Ekonomi Rakyat di tengah Arus Kapitalisme

Peranan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) di perekonomian nasional terhitung cukup besar. Sejauh ini UKM menjadi penyumbang terbesar devisa bagi negara. Di tahun 2018, UMKM telah menyumbang 60,34 persen PDB. Tidak mengherankan bila pemerintah sangat perhatian dengan pertumbuhan dan perkembangan UMKM Bahkan Jokowi sesumbar UMKM harus naik level. Tidak hanya bertahan di usaha kecil saja.

Sebagai penggerak ekonomi Indonesia, UMKM dianggap memiliki tiga peran penting. Pertama, sarana mengentaskan masyarakat dari jurang kemiskinan. Hal ini ditunjukkan dari data Kementerian Koperasi dan UMKM pada tahun 2011 yang menjelaskan jika terdapat sekitar 101.7 juta tenaga kerja yang terserap oleh 55,2 juta UMKM. Angka ini terus meningkat menjadi 57,8 juta UMKM yang menyerap tenaga kerja hingga 114 juta orang. Meski pemerintah mengklaim jumlah pengangguran menurun, tapi ada serapan tenaga kerja yang mencapai 94,9 persen atau setara 129,36 juta orang siap menanti lapangan kerja. Sanggupkah UMKM menampung calon pekerja sebanyak itu? Tentu tidak! Artinya, UMKM hanyalah setetes solusi di tengah problematika yang membelit negeri ini.

Saat UMKM memberi kontribusi mengurangi kemiskinan, di waktu yang sama angka kemiskinan di Indonesia masih menjadi PR besar yang tidak pernah tuntas. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan jumlah penduduk miskin di Indonesia pada Maret 2019 berjumlah 25,14 juta jiwa atau 9,41 persen. Sementara BPS merilis garis kemiskinan sebesar RP 425.250/bulan. Artinya, rakyat baru terkategori miskin jika penghasilannya dibawah angka garis kemiskinan yang ditetapkan BPS. Pertanyaannya, sejauh mana penghasilan 400 ribuan memenuhi kebutuhan dasar rakyat? Sedangkan harga pangan dan berbagai tarif baik listrik, BPJS, dan lainnya naik semua. Inilah problem yang tidak pernah selesai dituntaskan.

Kedua, sarana meratakan perekonomian rakyat kecil. UMKM diklaim memperkecil jurang ekonomi antara rakyat miskin dan kaya. UMKM sebagai wujud ekonomi rakyat dinilai mampu memberi penghidupan yang layak. Persoalan jurang miskin dan kaya sejatinya adalah persoalan mendasar akibat penerapan sistem ekonomi yang dijalankan. Harus diakui negeri ini tengah menerapkan sistem ekonomi kapitalis liberal. Tak ayal, pemerataan ekonomi sangat minim terjadi. Dari sini UMKM hadir. Ia disebut menjadi solusi atas masalah pemerataan. Padahal persoalan pemerataan tidak bisa ditimbal sulam dengan UMKM. Sebab, masalah ekonomi dan kesejahteraan berangkat dari sistem yang menaunginya. Kehadiran UMKM telah mereduksi peran negara yang sebenarnya. Peran itu tergantikan dengan hadirnya UMKM. Ini berarti negara sedang berlepas diri dari kewajibannnya mengurusi rakyat.

Ketiga, memberi pemasukan bagi devisa negara. Karena dinilai berdaya guna, UMKM digenjot ke segala arah. Membuka investasi asing dan dalam negeri. Dan lagi-lagi kaum kapitalis diberi karpet merah. Tak hanya menguasai pasar besar, usaha kecil rakyat pun disasar. Fakta ini semakin membuktikan bahwa negara tak ubahnya regulator yang hanya mereguk untung. Rakyat mandiri, negara berterima kasih. Rakyat bagai hidup sendiri tanpa ada yang melayani.

Jadi, siapa yang diuntungkan dari program karpet merah dan hijau untuk ekonomi Jatim? Panggung itu masih menjadi milik kaum kapitalis. Sebab, bagaimanapun kita membangun ekonomi rakyat, selama sistem kapitalisme dijadikan ‘ruh’ dalam berekonomi, kesejahteraan dan pemerataan ekonomi masih jauh dari harapan.

Perbaiki Ekonomi dari Sistemnya

UMKM hanyalah salah satu bentuk penyelesaian masalah ekonomi secara parsial, belum menyeluruh. Selama sistem kapitalisme masih diterapkan, masalah akan terus membayangi negeri ini. Dalam Islam, negara berperan penting dalam memenuhi kebutuhan dasar rakyat.

Memperbaiki ekonomi tak cukup sekadar solusi pragmatis. Dibutuhkan solusi fundamental. Yakni penerapan sistem Islam di seluruh kehidupan. Dengan begitu, UMKM.tak akan tercampuri dengan prinsip ekonomi ala kapitalis liberal. Jangan sampai program yang ditujukan untuk rakyat justru memberi angin segar bagi asing untuk menguasai semua lini. Termasuk usaha kecil rakyat yang menjadi asa terakhir bagi mereka. Sudahlah tak diurusi negara, asing pun diberi karpet merah.

Sudah saatnya kebijakan ekonomi lebih pro rakyat, bukan untuk konglomerat. Ekonomi pro rakyat akan terwujud manakala Islam dijadikan solusi atasi seluruh persoalan. Sistem Islam tak hanya menyejahterakan, tapi juga memberi keadilan bagi semua kalangan. Baik muslim ataupun non muslim. Baik yang kaya maupun yang miskin. Wallahu a’lam.

Chusnatul Jannah
Lingkar Studi Perempuan dan Peradaban

Artikel Terkait

Back to top button