Kartosoewirjo: Tokoh Islam yang Mengambil Jalan Keras

Pada 1929, nyantri ilmu politik dan Islam di rumah Tjokroaminoto rampung. Karto ditunjuk menjadi wakil Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII) di Jawa Barat. Ia hijrah dari Surabaya ke Malangbong, Garut. Kota di Jawa Barat itu akhirnya menjadi basis Kartosoewirjo dalam memimpin Darul Islam.
Setelah aktif di PSII, Kartosoewirjo kemudian aktif di Masyumi (1945). Saat itu ia menjabat sebagai Sekretaris Pertama. Selain itu, Karto juga diberi tugas mendirikan pusat Masyumi di daerah Priangan (Jawa Barat).
Pada Juni 1946, Masyumi daerah Priangan mengadakan konferensi pemilihan pengurus baru di Garut. Kartosoewirjo menunjuk Kiai Haji Mochtar sebagai Ketua Umum dan ia sendiri sebagai wakilnya.
Tahun 1948 kecewa dengan perjanjian Renville akhirnya Kartosoewirjo mengadakan gerilya di Jawa Barat. Hingga pada tahun 1949, ia memproklamasikan Darul Islam. Disitulah Presiden Soekarno dan tentara pendukungnya tidak terima dan memerintahkan TNI untuk menggempur Darul Islam. Selama 13 tahun terjadi peperangan antara TNI dan tentara Darul Islam.
Hingga akhirnya, 4 Juni 1962, Kartosoewirjo ditangkap di sebuah hutan yang tidak lebat di Jawa Tengah. Tiga bulan kemudian, tepatnya 5 September 1962 ia dihukum mati. Dalam persidangan, ia divonis melakukan makar dan berencana membunuh presiden.
Hukuman mati yang dilaksanakan militer kepada Kartosoewirjo juga penuh rahasia. Kuburannya bertahun-tahun menjadi misteri dan diduga dikuburkan di Pulau Onrust. Hingga anggota DPR Fadli Zon pada 2012, akhirnya mendapatkan dokumen dan foto-foto cukup lengkap tentang pelaksanaan hukuman mati Kartosoewirjo. Murid Tjokroaminoto ini ternyata dikuburkan di Pulau Ubi, Kepulauan Seribu, bukan pulau Onrust.
Sebelum ditangkap, Karto pernah berpesan kepada para pengikutnya,”Bila aku meninggal, ikutlah Natsir.”
Kartosoewirjo memang bukan orang sembarangan. Presiden Soekarno dalam wawancaranya dengan Cindy Adams menyatakan, “Di tahun 1918 ia adalah seorang sahabatku yang baik. Kami bekerja bahu membahu bersama Pak Tjokro demi kejayaan Tanah Air. Di tahun 20-an di Bandung kami tinggal bersama, makan bersama dan bermimpi bersama-sama. Tetapi ketika aku bergerak dengan landasan kebangsaan, dia berjuang semata-mata menurut azas agama Islam.” []
Nuim Hidayat, Penulis Buku Imperialisme Baru.