NUIM HIDAYAT

Kartosoewirjo: Tokoh Islam yang Mengambil Jalan Keras

Guru Tjokroaminoto

Tjokroaminoto memang membuka pintu rumahnya untuk orang-orang muda yang tertarik pada pemikiran politiknya. Di rumah Tjokro pernah belajar Soekarno, Musso dan Kartosoewirjo.

Karto pindah ke Surabaya pada 1923, setelah lulus dari Europeesche Lagere School, sekolah dasar Eropa khusus untuk kalangan Eropa dan yang berdarah Indo Eropa, dengan pengecualian pribumi berstatus sosial tinggi.

Anak-anak pribumi yang mengenyam pendidikan elite ini diharapkan bisa menjadi tenaga pembantu jika disekolahkan ke lembaga pendidikan dokter, sekolah ahli hukum atau sekolah pamong praja. Ayah Kartosoewirjo menginginkan anaknya yang saat itu berusia 18 tahun ini menjadi dokter.

Dari Europeesche Lagere School di Bojonegoro, ia dikirim ke Nedelandsch Indische Arstsen School atau Sekolah Dokter Hindia Belanda di Surabaya. Namun lulusan sekolah tingkat dasar sepertinya baru bisa mengikuti pelajaran kedokteran setelah lulus kelas persiapan selama tiga tahun.

Saat mengikuti kelas persiapan itulah Kartosoewirjo mulai aktif di politik. Mula-mula ia bergabung ke Jong Java. Organisasi ini pecah karena anggotanya yang lebih radikal memilih mendirikan gerakan yang tak terlalu mengagungkan tradisi Jawa dan pemikiran Barat. Mereka mendirikan Jong Islamieten Bond, yang lebih menyuarakan aspirasi Islam. Kartosoewirjo pun memilih hijrah ke organisasi baru ini.

Selain berguru kepada Tjokro, Karto juga membaca buku-buku kiri. Buku itu ia peroleh dari pamannya, mas Marco Kartodikromo. Marco pernah aktif di Sarekat Islam, tapi belakangan bergabung dengan Partai Komunis Indonesia.

Buku-buku Marco lah yang membuat pemerintah Hindia Belanda mencoret nama Kartosoewirjo dari Sekolah Dokter. Ia didepak pada 1927 lantaran kedapatan memiliki bacaan komunis dan antikolonial.

Akibat putus sekolah, hubungan Karto dan Tjokro menjadi lebih akrab. Karto sering mendengarkan ceramah-ceramah Tjokroaminoto. Saat Sarekat Islam menggelar rapat akbar di Surabaya, Karto ikut serta. Bubar rapat, anggota Sarekat Islam pergi shalat. Seusai shalat, Karto mendekati Tjokro untuk menyatakan ingin menjadi murid. Ia diterima.

Kartosoewirjo kemudian mondok di rumah Tjokroaminoto. Sebagai ganti ongkos pemondokan, Karto diminta bekerja di surat kabar Fadjar Asia. Karto juga sempat menjadi sekretaris pribadi Tjokroaminoto. Karto kepada gurunya belajar Islam dan Politik.

Tjokro menggembleng muridnya agar banyak menulis di koran dengan tema antikolonial. Awalnya Kartosoewirjo cuma korektor. Lalu pelan-pelan dia naik pangkat menjadi redaktur dan akhirnya menjadi pemimpin redaksi.

Tak hanya menulis, Karto juga bergabung dengan Sarekat Islam, organisasi yang dibentuk Tjokroaminoto.

Laman sebelumnya 1 2 3Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button