SUARA PEMBACA

Kartu Pra Kerja, Solusi Pintas yang tak Tuntas

Angka pengangguran semakin meningkat tajam, bahkan tercatat mencapai 7,05 Juta. Hal ini disebabkan lapangan pekerjaan yang ada tidak bisa mengimbangi jumlah kelulusan calon tenaga kerja.

Sebagai solusinya, pemerintah menyiapkan janji manis kepada masyarakat berupa Kartu Pra Kerja. Kartu sakti ini telihat menggiurkan bagi para pencari kerja. Lalu, bagaimana sistem pengelolaannya? Apakah adanya kartu ini bisa menyelesaikan kasus pengangguran yang ada?

Presiden Joko Widodo (Jokowi) akan merealisasikan pembagian kartu Pra Kerja kepada masyarakat pada Maret 2020. Kartu Pra Kerja yang dicetak secara digital itu nantinya berisi saldo sekitar Rp3,650 juta sampai Rp7,650 juta. Lantas, siapa yang berhak mendapatkan kartu Pra Kerja ini? Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan ( Kemenko-PMK), Muhadjir Effendy ketika ditemui di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Sabtu (30/11/2019), mengatakan, kartu Pra Kerja dibagikan kepada para pengantin baru yang masuk kategori miskin.

Setelah calon pengantin menyelesaikan bimbingan nikah selama tiga bulan, mereka yang tidak mempunyai sumber penghasilan diperkenankan mengikuti pelatihan lanjutan alias pra kerja.

“Jadi Kartu Pra Kerja ini bukan kartu yang dibagikan kepada para pengangur. Uang (yang ada di dalam kartu) itu digunakan untuk membiayai program pelatihan yang diambil oleh para pencari kerja atau yang terkena PHK dan ingin mendapatkan pekerjaan baru,” katanya.

Selain pelatihan pra kerja, pengantin baru yang memilih membuka usaha sendiri ketimbang bekerja juga dimudahkan untuk memperoleh kredit usaha rakyat (KUR).

Sementara itu, pemerintah benercana mengeluarkan Rp10 triliun untuk mendukung program kartu Pra Kerja. Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziah saat rapat bersama Komisi IX DPR di Gedung DPR, Jakarta, Rabu (20/11/2019), menjelaskan, biaya tersebut termasuk untuk pelatihan dengan perkiraan biaya sebesar Rp3-7 juta per orang. Total anggaran sekitar Rp10 triliun tersebut nantinya akan diperuntukkan dua juta peserta. (https://surabaya.tribunnews.com, 30/11/2019)

Sekilas, tentu saja nilai dari kartu Pra Kerja ini sungguh menggiurkan. Bahkan UMR dari kota Yogyakarta saja tidak sampai pada titik tersebut. Konon, kartu ini akan diberikan kepada pengantin baru yang bersertifikat nikah, korban PHK, dan pencari kerja lain dengan syarat yang tidak mudah dipenuhi oleh jutaan pengangguran yang ada. Jika syaratnya saja tidak mudah, berarti kartu ini pada akhirnya tidak akan merata. Nasib-nasib pengangguran yang tidak mendapatkan kartu masih perlu dipertanyakan. Dari sini terlihat dengan jelas bahwa pengadaan kartu Pra Kerja bukanlah solusi jitu dalam mengatasi angka pengangguran.

Apa yang dibutuhkan rakyat saat ini bukanlah kartu sakti seperti kartu Pra Kerja, melainkan terbukanya lapangan kerja, kondusifnya iklim usaha bagi pribumi yang tidak dikuasai tenaga kerja asing, juga keseriusan pemerintah dalam membenahi fundamental ekonomi. Dengan demikian, solusi ini akan lebih tepat dan berdampak menyeluruh bagi semua pencari kerja. Berbeda dengan pelatihan dan tunjangan Pra Kerja yang hanya mungkin bisa diakses oleh segelintir calon tenaga kerja.

Islam memerintahkan setiap laki-laki untuk bekerja guna memenuhi kebutuhan hidup. Sementara di sisi lain, negara berkewajiban menjamin tersedianya lapangan kerja. Selain itu, Islam melarang Negara mengamankan kekuasaan dengan kebijakan yang berorientasi pencitraan ala rezim oligarkis saat ini. Dari sini dapat kita simpulkan bahwa Kartu Pra Kerja hanyalah solusi pintas yang tak tuntas.

Keberadaannya tidak akan memberikan pengaruh signifikan dalam mengatasi angka pengangguran. Jadi, apakah kartu dengan dana yang tidak sedikit ini harus tetap direalisasikan? Bukankah lebih bijak jika anggaran dana yang tak sedikit itu dimanfaatkan untuk membuka lapangan pekerjaan? Wallahu a’lam bishshawab.

Nurlaini
(Penulis, Warga Masyarakat)

Back to top button