Kasman Singodimedjo Naik Bus Kota
Pencoretan Tujuh Kata di Piagam Jakarta
Tanggal 17 Agustus 1945, bertepatan 10 Ramadhan 1364 H, Indonesia merdeka. Sorenya, seorang opsir Jepang menemui Bung Hatta, menyampaikan tuntutan golongan Nasrani Indonesia Timur agar tujuh kata di Piagam Jakarta, dicoret. Jika tidak, mereka akan keluar dari Indonesia. (beberapa teori dan saksi sejarah mengatakan, tidak ada opsir Jepang yang menemui Bung Hatta mengenai hal itu. Bahkan menjawab pertanyaan saya, seorang Komisioner KPKPN, mantan Pimpinan GMKI – Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia – mengatakan, tidak ada tuntutan golongan Nasrani yang minta pencoretan tujuh kata tersebut).
Besok paginya, 18 Agustus, Bung Hatta menghubungi beberapa tokoh Islam, menyampaikan permintaan masyarakat Kristen Indonesia Timur tersebut. “Mengapa bapak memaksa Ki Bagus Hadikusumo agar mau mencoret tujuh kata tersebut?” tanyaku, penasaran. “Itu kesalahan saya. Semoga Allah mengampuni dosa saya,” katanya lirih. Tampak kesedihan di wajah Pak Kasman.
Tokoh-tokoh lain, Ki Bagus Hadikusumo, Wahid Hasyim, dan Teuku Hasan, tidak pernah saya jumpai. Namun, menurut Pak Kasman, mengenangkan perjuangan ulama, kiai, dan tokoh Islam, dari Aceh sampai Maluku, demi tegaknya kalimah tauhid, lailahailla Allah, maka mereka terima permintaan Hatta. Apalagi, Hatta mengatakan, kata-kata Yang Maha Esa adalah tauhid seperti yang tercantum dalam surah Al Ikhlas. “Namun, Ki Bagus Hadikusumo kan tetap menolak pencoretan tersebut,” kataku, menyalahkan Pak Kasman. “Ya, waktu itu saya percaya dengan janji Bung Karno. Beliau bilang, umat Islam dapat mengajukan kembali tuntutan mereka jika menguasai parlemen,” kata Pak Kasman. “Hasilnya?” desakku sekalipun sudah kutau hasil Badan Konstituante. Sebab, rapat PPKI tanggal 18 Agustus 1945 tersebut, selain memilih Soekarno dan Hatta sebagai presiden dan wakil presiden, terdapat beberapa perubahan prinsip dalam UUD ’45. Perubahan itu berupa:
(1) Sila Pertama (dalam Piagam Jakarta) berbunyi: “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” menjadi: “Ketuhanan Yang Maha Esa” (2) Pasal 6 yang semula berbunyi: “Presiden ialah orang Indonesia asli yang beragama Islam”, diganti dengan “Presiden ialah orang Indonesia asli” (3) Pasal 28, “Negara berdasarkan atas Ke-Tuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” diganti dengan “Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa” (pasal ini kemudian menjadi Pasal 29).
“Maaf pak, kalau kondisi seperti itu terjadi sekarang, generasi muda tidak akan terima,” kataku sambil melihat halte bus Masjid Al Azhar yang beberapa ratus meter lagi. “Ya, kamu jangan ulangi kesalahan yang pernah saya lakukan dulu,” tegas pak Kasman sambil berdiri. Kami berdua pun turun dan berjalan menuju ruang rapat MUI di sebelah Masjid Agung Al Azhar.
Sejak itu, ketika memimpin HMI dan Majelis Nasional KAHMI, aktif di KPKPN, KPK, serta Direktur Pascasarjana, saya toleran terhadap perbedaan pendapat, tapi tegas atas setiap pelanggaran ketentuan.
Aplikasinya, saya pernah pecat seorang Ketua Badko HMI dan fungsionaris PB HMI. Di KPKPN, saya melaporkan 10 pejabat ke Mabes Polri di mana tujuh di antaranya, senior saya ketika menjadi mahasiswa. Di KPK, saya dan anggota Majelis Kode Etik memecat empat pegawai, memberhentikan dua pejabat serta menetapkan tiga Surat Peringatan Pertama. Saya juga memecat seorang Kaprodi sewaktu menjadi Ketua STIE. Alasan saya, Rasulullah Saw memaafkan mereka yang menghina dirinya tapi menjatuhkan hukuman tegas bagi yang melanggar ketentuan Allah SWT.
Depok, Dekrit 5 Juli 2021
Abdullah Hehamahua, Ketua Majelis Syuro Partai Masyumi/Mantan Penasihat KPK.