OPINI

Kasman Singodimedjo Naik Bus Kota

Tahun 1979 di Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta. Bus kota berhenti di halte Ratu Plaza. Seorang kakek menaiki bus. Saya terperanjat! Beliau langsung menujuku dan menduduki kursi kosong, di sampingku. Kusalami tangannya. “Kok Pak Kasman naik bus?,” tanyaku heran (Pak Kasman Singodimedjo adalah tokoh Masyumi kedua yang saya berdialog secara langsung dengannya).

Naik Bus Kota

Beberapa bulan setelah terpilih menjadi Ketua Umum PB HMI, saya mendapat SK dari Majelis Ulama Indonesia (MUI). Buya Hamka, Ketua Umum menempatkan saya sebagai Ketua Seksi Pemuda. Inilah pertama kali saya menghadiri rapat MUI.

Pengalaman menarik karena saya akan menemui para ulama, tokoh, dan aktivis Islam tingkat nasional. Lebih mengesankan, saya duduk berdampingan dengan seorang pejuang kemerdekaan. Nama besarnya hanya kukenal di kitab sejarah pergerakan Indonesia. Bayangkan, kakek di samping saya ini, mantan Ketua KNIP, Komite Nasional Indonesia Pusat (DPR-RI sekarang). Beliau juga mantan Jaksa Agung dan Menteri Muda Kehakiman. Di Masyumi, beliau Ketua Muda Majelis Syura dan Wakil Ketua DPP ketika Abah Natsir, Ketua Umum. Pak Kasman juga anggota parlemen.

Sejatinya, saya sudah bertemu beliau dalam event-event organisasi Islam. Namun, kami hanya bersalaman biasa. Saya juga mendengar buah pikirannya dalam acara tertentu. Kini, saya berdialog, bertanya, dan tabayun langsung ke beliau khusus mengenai peristiwa 18 Agustus 1945. Pertanyaan pertama yang kuajukan, mengapa Pak Kasman naik bus kota. Padahal umur beliau waktu itu, 76 tahun.

“Kita tidak boleh diatur oleh orang lain. Jangan bergantung sepenuhnya ke pihak lain. Kita harus bisa mengatur diri sendiri,” jelas Pak Kasman. Maksudnya? tanyaku penasaran. Pak Kasman lalu cerita bahwa sopirnya ada urusan. “Jika menunggu sopir, berarti saya hanya bergantung harap ke dirinya. Mengapa saya tidak berangkat sendiri saja?” kata beliau. Saya membatin: “Pak Kasman, mantan Ketua DPR-RI, Jaksa Agung, Menteri Kehakiman, dan sederet jabatan kenegaraan lainya. Kok sekarang naik bus kota. Sendirian. Pejabat-pejabat lain, sudah pensiun pun masih dikawal ajudan pribadi.”

“Saya harus meneledani Pak Kasman,” batinku. Pola pikir Pak Kasman itulah yang saya terapkan ketika memimpin HMI sehingga menolak bertemu presiden Soeharto karena tidak mau “dicekoki.” Saya naik bus kota sewaktu mengajar di salah satu SMA, Selangor, Malaysia. Saya juga nginap di kantor sewaktu menjadi dosen Akademi Dakwah Muhammadiyah, Singapura. Ketika menjadi Wakil Ketua Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN), saya berangkat sendirian ke daerah. Saya menyetir sendiri mobil dinas dari rumah ke kantor. Tugas operasional, barulah saya diantar sopir kantor.

Bahkan, sebagai Penasihat KPK selama delapan tahun, bahan presentasi kusiapkan sendiri. Terbang ke mana-mana di seluruh Indonesia, mulai dari Banda Aceh sampai Manokwari, Papua Barat, sendirian. “Kok tidak ada yang kawal pak?” pertanyaan yang biasa diajukan Sekwan atau Panitia Seminar. “Ini, dua pengawal tetap,” kataku sambil menunjuk malaikat Raqib dan Atid yang berada di bahuku, kanan dan kiri. “Nggak takut diapa-apain sama orang?” tanya pejabat di provinsi tertentu.

Beberapa hari sebelum pertanyaan pejabat di atas, ada pegawai di Deputi Penindakan KPK, ditabrak pemotor ketika beliau menuju halte bus untuk pulang. Terpikir, akan kuceritakan bagaimana teror, intimidasi, bahkan tabrakan yang dilakukan terhadap pegawai KPK, khususnya di Bidang Penindakan. Namun, saya tidak ceritakan hal tersebut. Saya khawatir, tidak ada yang mau jadi pegawai KPK. “Saya punya jaket anti peluru, tapi tidak pernah kupakai,” kataku ke pejabat tadi. “Mengapa?” tanyanya, penasaran.

“Pertama, baju anti peluru itu berat. Ia membebaniku ketika menjinjing tas laptop dan koper dari pesawat terbang ke taksi.” Pejabat itu mengernyitkan dahi. Saya mafhum. Sebab, kebiasaan pejabat Indonesia, jangankan laptop atau tas pakaian, kacamata pun dibawa ajudan. Sewaktu mau membaca kata sambutan, ajudan menyerahkan kacamata. Selesai, kacamata diserahkan kembali ke ajudan. “Alasan kedua pak,?” tanya pejabat ini, penasaran.

“Kedua, saya tidak mau berbuat syirik.” “Maksudnya?” tambah serius pejabat ini. Kujelaskan secara singkat, apa itu syirik: Syirik adalah perbuatan ‘men-dua-kan’ Allah SWT dalam segala aspek kehidupan, mulai dari gerakan hati, pola pikir, ucapan, tindakan, dan perilaku sehari-hari. Sewaktu berpikir bahwa, jeket anti peluru itu akan melindungiku dari perbuatan jahat makhluk, maka detik itu saya berbuat syirik.

“Kok bisa pak?” tanyanya, tambah heran. Sebab, Allah SWT adalah Pencipta, Pemilik, Penguasa, Pentadbir, Pelindung, Pengawas, dan Pemutus semua urusaan makhluk-Nya. Jadi, bukan jaket itu yang melindungiku, tapi Allah SWT. Jeket hanya alat. Ia berfungsi sebagai media atau ikhtiar datangnya perlindungan Allah SWT. Jika Allah menginginkan, maka jeket itu dapat ditembus peluru atau pisau sekalipun. Sebaliknya, tanpa jaket pelindung, saya tidak akan tertembak jika Allah yang melindungiku. Sekwan DPRD itu mengangguk perlahan.

1 2Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button