NUIM HIDAYAT

Keberanian Ulama Menghadapi Penguasa


Syekh Abdul Azis al Badri kemudian mencontohkan bagaimana sosok ulama yang hebat yang tegar menghadapi penguasa. Berkata Ibnul Hariri, ”Kalau bukan Ahmad Ibnu Taimiyah yang menjadi Syaikhul Islam siapa lagi?” Kata-kata ini terucap sebagai kesaksian oleh seorang qadhi besar dalam menghargai pribadi dan mengakui kealiman Imam Ahmad Ibnu Taimiyah. Memang benar, Imam Ahmad Ibnu Taimiyah adalah ulama besar yang digelari Syaikhul Islam pada masanya. Ia menguasai beberapa cabang ilmu agama yang tidak tertandingi oleh ulama lain masa itu. Selain itu Ibnu Taimiyah adalah mujahid yang menyebarluaskan ajaran syariat Islam dari suatu tempat ke tempat lain, baik dengan tulisan maupun lisan. Penanya tajam bagaikan pedang membabat segala macam bidah, dan lidahnya ibarat anak panah yang menembus benteng pelaku mungkar. Ibnu Sayidunnaas memberikan komentar,” Demikianlah keadaan Ahmad Ibnu Taimiyah. Dari tahun ke tahun ia makin terkenal dan namanya tersiar luas di kalangan masyarakat, karena keahliannya dan keberaniannya memberikan fatwa dan hukum dari Al-Qur’an dan As-Sunnah.”

Namun dimana ada ulama, di sana ada pula musuhnya. Jadi tidak mengherankan, kalau Imam Ahmad Ibnu Taimiyah selalu dihadang dan difitnah oleh para musuhnya dengan berbagai macam tuduhan. Ia dituduh telah keluar dari madzhab para ulama besar terdahulu, dan membawa hal-hal yang baru dalam Islam, dan lain-lain lagi. Dari situlah mula pertama timbulnya pertentangan antara pengecut yang menyebar fitnah dan para penguasa di satu pihak dengan Imam Ahmad Ibnu Taimiyah di lain pihak. Namun Imam Ahmad tetap tabah dan sabar menerima segala macam percobaan, baik itu berupa ancaman ataupun langsung berupa penyiksaan.

Sebenarnya semua itu tidak perlu terjadi, seandainya para penguasa itu mau memahami hukum syariat Islam yang dilaksanakan oleh Imam Ahmad. Satu hal yang sangat disesalkan ialah bahwa para penguasa pada umumnya hanya berpegang pada tradisi dan adat istiadat yang berlaku, yang orang awam hanya ikut-ikutan melaksanakan sebagai aqidah dan ibadahnya. Para penguasa ikut merasa menjadi sasaran kritik, dan karena itu mereka bertindak keras terhadap Imam Ahmad. Lebih lagi kebanyakan penguasa adalah bekas tentara, yang karena jasanya di medan perang, kepada mereka dihadiahkan pangkat dan kedudukan, walaupun mereka bukan ahlinya. Karena itu mereka mudah diperalat oleh sebagian orang yang ingin melampiaskan nafsu perut dan syahwatnya, dengan menghidup-hidupkan tradisi dan adat istiadat yang bertentangan dengan Islam.

Sikap Imam Ahmad yang tegas, membuat sebagian ulama dan penguasa tidak suka padanya. Sehingga ia beberapa kali dipenjara. Hebatnya Imam Ahmad memaafkan orang-orang yang telah menfitnahnya. Sewaktu ia ditanya bagaimana sikapnya terhadap mereka yang pernah menfitnahnya dan menjatuhkan nama baiknya, ia menjawab,”Mereka semua telah aku maafkan, karena mereka itu semua Muslim. Dan aku cinta kepada setiap Muslim, sebagaimana aku mencintai diriku sendiri. Aku selalu mendoakan segala yang baik untuk mereka.”

Imam Ahmad berjuang bukan hanya dengan lisan dan tulisan. Tapi juga dengan pedangnya. Dimana saat itu ketika pasukan Tartar mau menyerbu Damaskus, Sultan mengundang para ulama untuk musyawarah. Sebagian ulama memberikan fatwa berdamai saja dengan pasukan Tartar. Karena sebagian pasukan Tartar itu ada yang Muslim. Ibnu Taimiyah tidak setuju. Ia usul agar Sultan dan rakyat menghadapi perang dengan pasukan Tartar, sebab mereka adalah pasukan yang suka mengacau dan mengadu domba umat Islam, seperti kelakuan kaum khawarij. Imam Ahmad pun ikut dalam peperangan itu. Dan kemenangan diberikan Allah kepada pasukan Syam.

Ketegaran ulama menghadapi penguasa, juga diperlihatkan oleh Imam Abu Hanifah ketika berhadapan dengan penguasa Abu Ja’far al Mansur. Antara Abu Hanifah dan Abu Ja’far sering terjadi perdebatan sengit dan pertentangan yang tajam. Imam Abu Hanifah tidak suka dengan cara-cara yang kaku dan sikap feodalistis Abu Ja’far. Penguasa ini sering melakukan kesalahan di dalam melaksanakan hukum, terutama terhadap orang yang tidak disenanginya atau orang yang dianggap lawan atau lawan dari nenek moyangnya Bani Abbas. Karena itu Abu Ja’far selalu mencari-cari kesalahan Abu Hanifah. Ia dan anak buahnya berusaha selalu menjebaknya. Kadang dengan hadiah uang dalam jumlah besar, dengan wanita cantik dan kadang dengan tawaran kedudukan dan pangkat yang tinggi. Tapi Abu Hanifah tetap tegar, tidak mempan dengan jebakan sang penguasa.

Ketika ia ditanya kenapa ia menolak hadiah uang dan jabatan dari Abu Ja’far al Mansur, Abu Hanifah menyatakan, ”Uang itu aku tolak, karena bukanlah uang pribadi al Mansur. Melainkan uang itu diambilnya dari Baitul Mal kaum Muslimin. Sebagaimana kita ketahui bahwa uang Baitul Mal itu adalah hak orang-orang yang telah ditentukan oelh syariat Islam, seperti para fakir miskin, janda dan anak yatim, mereka yang sedang berjuang di jalan Allah. Karena itu harus menolaknya, lagi pula aku tidak termasuk dalam golongan mustahak itu. Sedangkan penolakanku akan jabatan qadhi memang dilematis. Bagaimana mungkin aku dapat melaksanakan keadilan yang merata, sedangkan kecurangan dan pemerkosaan hak umat dilakukan oleh pihak atasan. Sudah pasti mereka tidak mau diadili. Kalau hal ini sampai terjadi, apa yang harus dikatakan nantinya pada umat yang selama ini aku bela mati-matian? Dan apa lagi jawabanku nanti di hadapan Allah SWT?”

Syekh Abdul Azis al Badri banyak mencontohkan kisah-kisah ulama yang tegar menghadapi penguasa. Mereka dihadapan penguasa bukan merunduk-runduk minta uang dan jabatan. Tapi bila berhadapan dengan penguasa mereka tidak segan melakukan kritik yang tajam dan koreksi kepada pemerintahannya. Karena itu banyak ulama yang menolak diberikan hadiah oleh penguasa, karena khawatir hadiah uang itu akan membungkam mereka bila berhadapan dengan penguasa.

Pembaca, bisa membaca lebih detil di buku ini. Bagi yang berminat buku ini bisa menghubungi saya (0878881942666). Saya akan mereproduksinya, karena buku ini sudah tidak diterbitkan lagi oleh Pustaka Mantiq. Wallahu alimun hakim. []

Nuim Hidayat, Penulis Buku “Imperialisme Baru.”

Laman sebelumnya 1 2 3

Artikel Terkait

Back to top button