NUIM HIDAYAT

Kelemahan atau Kebesaran Natsir

Waktu ada perubahan yang penting di tanah air, Negara Indonesia Serikat yang lahir karena kebutuhan adanya kompromi antara Belanda kembali menjadi negara kesatuan, pada saat itu Natsir terpanggil untuk menjadi Perdana Menteri. Ia diperintahkan oleh Presiden Soekarno untuk membentuk kabinet. Bahwa di kemudian hari timbul perbedaan paham antara Presiden dan Perdana Menteri, tentang kebijaksanaan yang harus di jalankan berkenaan dengan soal Irian Barat, adalah soal biasa atau tidak dapat dihindari dalam demokrasi. Pada waktu itu Natsir menyatakan, bahwa sebagai Perdana Menteri ia akan menjalankan politik yang ia yakini. Tentu seorang Perdana Menteri tidak akan menjalankan kebijaksanaan orang lain. Bahwa kalau ada konflik antara Presiden dan Perdana Menteri, yang disebut belakangan harus menyingkir, adalah suatu hal yang wajar. Sebagai Perdana Menteri Natsir juga bukan orang yang tidak siap, berkat pengajiannya tentang Islam.

Natsir bukan orang yang mendapat pelajaran di universitas. Tapi ia mendapat pelajaran yang setinggi-tingginya yang pada waktunya dapat dicapai dalam masyarakat Indonesia. Dari penafsir Al-Qur’an ia belajar ketelitian membaca dan memperhatikan perkataan kalimat demi kalimat. Saya sebagai sarjana hukum didikan Barat kalau membaca tafsiran dan karangan-karangan Hasan, mendapat kesan seperti membaca suatu pekerjaan seorang yuris. Kadang-kadang Hasan mengorbankan keindahan bahasa bagi kepentinga kejelasan dan ketepatan makna. Dalam tulisan Natsir tidak terdapat kekakuan bahasa seperti dalam bahasa Hasan itu, mungkin karena bahasa Indonesia (Melayu) lebih dekat dengan Natsir.

Meskipun tidak langsung, Natsir yang waktu Tjokroaminoto masih hidup, sudah dewasa, malah sedang peka pikirannya kepada perjuangan, mengikuti jejak langkah pemimpin besar itu. Natsir pernah menceritakan, bahwa ia kebetulan bersama Tjokroaminoto dalam kereta api. Apa yang ia lihat sangat mengesankan Natsir. Tjokroaminoto sedang dalam perjalanan mengunjungi cabang-cabang Sarekat Islam. Ia membawa veldbed (tempat tidur dari kain layar yang dapat dilipat). Pemimpin-pemimpin Sarekat Islam kalau mengunjungi rakyatnya, menginap di rumah kawan-kawan separtainya, tidak di hotel. Di waktu itu memang tidak ada hotel di setiap tempat. Kalaupun ada mereka tidak menginap di hotel.

Natsir dengan kawan-kawannya di JIB mengalami mendapat pendidikan dari Haji A. Salim, melalui percakapan-percakapan, membaca karangan-karangannya dan sering juga berdiskusi. Pemimpin-pemimpin di masa Haji A. Salim dan Tjokroaminoto tidak semuanya, malahan hanya satu dua yang menikmati pendidikan universitas. Tapi kematangannya tidak kurang dari akademisi.

Berjuang untuk agama, rakyat dan negara adalah pendidikan yang dilalui oleh Natsir, dan berdakwah adalah salah satu pelaksanaan dari pendidikan itu.

Ada satu saat ada perkembangan yang tidak sehat di tanah air. Kalau ada Kabinet harus diganti, maka partal-partai yang berdirinya berdasarkan hak asasi, memandang perubahan itu tidak sebagai tugas negara, melainkan sebagai membagi-bagi kedudukan, yang memberi keuntungan bagi partai dan pribadi. Maka lahirlah perkataan “koehandel” perdagangan sapi, membagi-bagi tempat dalam pemerintahan, sebagai kedudukan yang membawa fasilitas.

Sejak tahun 1950 Natsir menjadi Ketua Umum Masjumi, sedang Mayumi sampai tahun 1957 beberapa kali terpanggil ikut memikul tanggung jawab dalam pemerintah. Sesudah ia turun sebagai Perdana Menteri di tahun 1951, ia sendiri tidak pernah lagi menjadi Menteri, meskipun wajar kalau ketua partai politik menjadi Menteri. Tapi untuk menunjukkan bahwa ia tidak mau ikut dalam “koehandel” tersebut, ia menyerahkan kewajiban itu kepada kawan-kawannya. Sebab Masjumi tetap memandang menjadi menteri sebagai kewajiban, tidak sebagai kedudukan yang empuk. Begitulah Natsir dalam perkembangan hidup kepartaian dan sistem parlementer yang kurang sehat itu berusaha mengembalikan lembaga Menteri kepada proporsi yang sebenarnya.

Natsir tersangkut dalam peristiwa PRRI, tapi baiklah diingatkan dengan singkat di sini, bahwa peristiwa PRRI itu diakhiri dengan pemberian amnesti berdasarkan syarat menyerah. Hal itu dipenuhi, dan kita juga melihat, bahwa tidak pernah ada proses terhadap PRRI, seperti ada proses-proses terhadap Gestapu PKI dan DI.

Sesudah itu ada tahanan-tahanan politik, yang terdiri dari orang yang ikut PRRI, tidak karena PRRI-nya, tapi karena mereka dipandang membahayakan politik Presiden Soekarno. Orang-orang yang sama sekali tidak tersangkut dalam PRRI seperti Sjahrir, Anak Agung, Sultan Hamid, Subadio dan lain-lain termasuk dalam rombongan tahanan politik tersebut.

Waktu Masjumi dibubarkan, maka tidak sulit bagi Natsir untuk mengalihkan kesibukannya. Ia dari rumah seorang muballigh, seorang dai, maka ia mendirikan Dewan Dakwah Islamiyah dimana ia masih menyerahkan sisa-sisa usianya yang sudah lanjut.

Maka dalam Dewan Da’wah inilah ia masih sibuk dan menerima tamu banyak. Pada suatu saat saya menelpun Dewan Da’wah yang berkantor di Mesjid Al-Munawarah. Salah seorang staf Natsir mengangkat pesawat telepon dan saya minta bicara dengan Natsir. Ia pergi memberitahukan kepada Natsir dan kembali dengan keterangan, agar saya memberi pesan saja bagi Pak Natsir. Ia tambahkan, bahwa Pak Natsir sedang berbaring, tidak kuat lagi bangun, karena habis tenaga menerima tamu.

Laman sebelumnya 1 2 3 4Laman berikutnya

Artikel Terkait

BACA JUGA
Close
Back to top button