NUIM HIDAYAT

Kelemahan atau Kebesaran Natsir

Saya tahu, bahwa Natsir dapat menolak saya, karena saya akan mengerti. Sekretaris menambahkan keterangan bahwa sesudah Pak Natsir lelah sekali, masih ada seorang dari Jawa Timur yang minta dengan sangat agar boleh ketemu dengan Pak Natsir sendiri. Permintaan yang demikian itu Natsir tidak dapat menolak. Padahal yang demikian itu sering terjadi. Yang datang dari Padang, dari Gorontalo, dari Brebes, dari Pontianak, juga dari Kebon Kacang minta diterima oleh Natsir sendiri. Dan Natsir tidak dapat menolak.

Kawan-kawannya dari Dewan Da’wah mengeluh Pak Natsir tidak dapat membatasi diri, tidak membedakan yang remeh dan yang penting. Asal saja Pak Natsir dapat mengurangi menerima tamu, kesehatannya akan lebih baik.

Saya menanyakan dimana Mawardi Noor. Ia tidak datang karena sakit. Dimana Buchari Tamam, tanya saya. Ia sedang keluar kantor. Mawardi Noer dan Buchari Tamam, adalah dua asisten senior dari Natsir. Saya tahu, bahwa Natsir mengharapkan pengertian dari saya, karena itu ia dapat menolak menyambut telpun dari saya. Tidak mengurangi semua itu, saya marah juga kepada Sekretaris yang sedang bicara dengan saya.

Saya katakan, kenapa anda tidak menjaga agar Pak Natsir tidak kecapekan dengan menolak tamu itú. Sang sekretaris menjawab, saya tidak dapat menghalang-halangi Pak Natsir bicara dengan tamu dari Jawa Timur itu, yang gigih mau ketemu dengan Pak Natsir sendiri. Begitulah Natsir dan begitulah tamu-tamunya dari mana saja, dan siapa saja, yang semua ingin ketemu dengan Natsir sendiri. Dan Natsir tidak dapat menolak. Kalau tamu itu seorang penting, seorang duta besar dari negara Timur-Tengah, atau pemimpin-pemimpin partai politik, atau seorang penting, kita dapat mengerti. Tapi Natsir juga menerima seorang dari Kampung Bali Gang IX, atau imam langgar dari Gang Bluntas, guru madrasah dari Tanggerang.

Natsir tidak mau menolak permintaan duta besar, tapi juga tidak menolak guru madrasah dari Tangerang, Persoalan yang dibicarakan oleh seorang duta besar tentu penting. Tapi yang akan dikemukakan oleh khatib dari Tanah Abang di mata Natsir juga penting. Kalau kedudukan orangnya bagi Natsir sama saja, tapi apakah tidak dapat disaring apakah soalnya cukup penting untuk dihadapi oleh Natsir sendiri? Dalam hal ini Natsir jalan birokrasi, yaitu seorang sekretaris yang menyortir, mana yang penting. Natsir mau tahu sendiri, apa yang penting mana yang tidak. Bagaimana kita tahu bahwa soalnya tidak penting, kalau belum mendengar duduk perkaranya? Bagi orang yang bersangkutan soalnya tentu penting.

Saya mengenal orang-orang seperti Haji A. Salim dan Prawoto yang memelihara jenggot. Kalau mereka menghadapi suatu persoalan maka mereka memeras otaknya dengan mengelus-elus atau memutar-mutar jenggotnya.

Beberapa kali Natsir bersama-sama dengan saya menghadapi persoalan berat. Waktu Kementerian Dalam Negeri di Purwokerto dan saya merangkap anggota delegasi, kami menghadapi persoalan bagaimana menerangkan Perjanjian Linggarjati kepada rakyat umumnya, Masjumi khususnya. Natsir sebagai Menteri Penerangan ikut memikul tanggung jawab tentang hal itu malah menjadi kewajibannya. Ia saya undang ke Purwokerto agar selama beberapa malam dalam suasana yang lebih tenang dari Yogya dapat memikirkan bagaimana caranya.

Kami duduk menghadapi satu meja, Natsir dengan pena di tangan kanan dan beberapa kertas kosong di hadapannya. Natsir tidak punya jenggot, karena itu tangan kiri bergerak lebih ke atas dan memutar-mutar rambut. Begitulah cara Natsir memeras otaknya. Hal itu dapat berlangsung berjam-jam. Itulah ia kerjakan, jika ia duduk berdiam sendiri. Cara itu saya melihat lagi, waktu kami bersama-sama berada tempat tahanan di Gang Tembok, yang sesudah kita merdeka, diberi nama Jalan Keagungan. Mr. Asaat juga seorang penghuni, waktu ia mengantarkan jenazah Sjahrir mengatakan, bahwa ia tidak melihat sesuatu yang agung di Jalan Keagungan. Barangkali Mr. Asaat tidak pernah melihat Natsir memeras otaknya dengan memutar-mutar rambut kepalanya di Jalan Keagungan.

Ada suatu sifat, yang barangkali hanya Natsir milikinya, setidaknya hanya beberapa orang saja. Kalau ia mendengarkan orang mengisahkan cerita sedih atau kesulitan baikpun yang dihadapi orang itu atau umum, maka Natsir mendengarkannya dengan penuh perhatian tidak saja, tapi Natsir ikut merasakan penderitaannya. Barangkali itulah rahasianya, mengapa semua orang ingin ketemu dengan Natsir sendiri. Kalau tidak ada jalan keluar bagi penderitaan itu orang sudah merasa lega sesudah didengar oleh Natsir. Tentang ini kawan-kawan yang dekat sudah sering mengalaminya. Jika Natsir bercerita tentang suatu bahaya, umpamanya bahaya kristenisasi, maka ia menceritakan itu dengan segala perasaan atau emosi yang ada padanya. Kawan-kawannya mendengarkan hal itu dengan penuh perhatian, yakin tentang apa yang Natsir ceritakan, karena Natsir sangat lengkap pengetahuannya tentang suatu masalah sebelum ia mengemukakannya secara serius. Mereka bersedia membantu Natsir dan mengikuti Natsir sebagaimana mereka senantiasa patuh kepada pemimpin yang dicintainya dan diakui kebenarannya. Tapi Natsir tidak seratus persen puas, kalau yang mendengarkan itu tidak merasakan dengan emosi, seperti Natsir sendiri. Saya rasa Natsir mempunyai syaraf yang kuat seperti baja.

Itulah yang memungkinkan ia tidak hanya dengan kepala dingin memikirkan segala sesuatu, tapi juga dengan emosi yang menyala ikut merasakan suka dan duka rakyat atau kawan-kawan yang datang mencari petunjuk-petunjuk daripadanya.

Tapi Natsir bukan seorang yang tidak menjaga kesehatannya. Ia patuh menuruti perintah Dokter Nurhay Abdurrahman, yang memelihara kesehatan Natsir dengan segala skillnya dan dedikasinya. Dalam waktu-waktu yang sudah ditetapkan Natsir menyerahkan dirinya untuk dikontrol.

Laman sebelumnya 1 2 3 4Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button