LAPORAN KHUSUS

Kemenag, Awalnya Ditentang Kaum Nasionalis Sekuler dan Kristen

Usul tersebut mendapat sambutan dan dikuatkan oleh tokoh-tokoh Islam yang hadir dalam sidang KNIP pada waktu itu. Tanpa pemungutan suara, Presiden Soekarno memberi isyarat kepada Wakil Presiden Mohamad Hatta, yang kemudian menyatakan, bahwa adanya Kementerian Agama tersendiri mendapat perhatian pemerintah.

Sebagai realisasi dari janji tersebut, pada 3 Januari 1946 pemerintah mengeluarkan ketetapan NO.1/S.D. yang antara lain berbunyi: Presiden Republik Indonesia, Mengingat: Usul Perdana Menteri dan Badan Pekerja Komite Nasional Pusat, memutuskan: Mengadakan Departemen Agama. Keputusan dan penetapan pemerintah ini dikumandangkan di udara oleh RRI ke seluruh dunia, dan disiarkan oleh pers dalam, dan luar negeri, dengan H. Rasjidi BA sebagai Menteri Agama pertama.

Pada pihak lain, sejumlah pemimpin Indonesia, terutama dari kalangan non-Muslim dan nasionalis, memandang Kementerian Agama merupakan konsesi yang terIalu besar dari Republik yang baru berdiri kepada kaum Muslimin. Mereka khawatir, bahwa Kementerian akan didominasi pejabat-pejabat Muslim dan, dengan demikian, akan lebih memprioritaskan urusan-urusan Islam daripada urusan agama-agama lainnya yang ada di Indonesia.

Lebih jauh lagi, di antara mereka ada yang menuduh bahwa Kementerian Agama merupakan langkah pertama kaum Muslimin untuk mewujudkan negara Islam di Indonesia, setelah mereka gagal dalam sidang BPUPKI untuk menjadikan Islam sebagai dasar negara.

Bentuk tipikal oposisi kalangan non Muslim terhadap eksistensi Kementerian Agama dapat terlihat dari pandangan JWM Bakker, pemimpin Katolik yang bermukim di Indonesia.

Sebagaimana dikutip Boland (1982:106-7), Bakker menyatakan, bahwa sejak semula Kementerian Agama merupakan kubu Islam dan batu loncatan untuk pembentukan sebuah negara Islam. Dia lebih lanjut menuduh, bahwa pada perkembangan awalnya kementerian ini bersikap defensif, tetapi ketika ia semakin kuat dan sadar akan kekuatannya, ia mulai melancarkan propaganda (Islam) melewati batas-batas yang pernah diduga Sjahrir sendiri; bagian propaganda dari Kementerian Agama menjadi sekuat negara itu sendiri.

Tuduhan ini tentu saja dijawab oleh para pemimpin Islam. KH Wahid Hasyim, pemimpin Nahdlatul Ulama (NU) yang kemudian menjabat Menteri Agama pada 1950-1952 menyatakan, adalah pantas bagi Kementerian Agama untuk memberikan perhatian lebih besar kepada masalah-masalah Islam, karena jumlah penduduk Muslim jauh lebih banyak dibandingkan jumlah kaum non Muslim. Karena itu, ujarnya, tugas-tugas untuk pengelolaan masalah-masalah Islam dan kaum Muslimin tidak sama besarnya dengan penanganan masalah-masalah kaum non-Muslim. Jadi, perbedaan ini tidaklah didasarkan pada diskriminasi agama.[]

Shodiq Ramadhan/dbs

Laman sebelumnya 1 2

Artikel Terkait

Back to top button